19. Orang Ketiga

6.1K 702 12
                                    

"Cinta itu pelik. Ia bahkan bisa datang mengusik hati yang sudah punya pemilik."

"Kok lu gak jadi pergi sama Fandy, Sa?"

Mas Ares tahu-tahu saja masuk ke kamarku waktu aku lagi asik dance practice lagu I Swear yang dinyanyikan oleh grup idol wanita asal Korea Selatan, Sistar. Sayang sekali salah satu grup idol wanita hits itu harus disband. Padahal aku suka sama lagu-lagu dan gerakan dance mereka. Sexy gemes gimana gituu.

"Elah joget mulu lu kayak cacing salah obat," komen Mas Ares lagi seraya mem-pause video Sistar di laptopku.

"Ganggu aja deh lu, Mas. Ini tuh biar gue punya body goals."

"Halah kids zaman now dasar sok-sokan. Apa-apa dipakaiin goals. Relationship goals lah, friendship goals lah, body goals lah. Situ orang apa gawang?"

Aku tertawa mendengarnya. Benar-benar dah, Mas Ares kalau udah nyinyir tuh mengalahkan cewek PMS.

"Kenapa lu gak jadi jalan sama Fandy?" Mas Ares kembali ke pertanyaan awalnya.

"Emang kenapa sih, Mas? Mau tahu aja deh lu mah. Lagian tahu darimana gue ada janji mau pergi sama Kak Fandy?"

"Tadi dia dateng ke tempat futsal padahal sebelumnya udah bilang absen dulu. Ya gue tanya lah kenapa dia berubah pikiran gitu. Terus dia jawab kalau gak jadi pergi sama lu."

"Ooh, terus?"

"Gue curiga jangan-jangan di kampus lu ada gebetan baru ya, Sa?"

Aku memutar bola mataku malas. Ini orang kebiasaan banget sok-sokan menganalisa. Gayanya sok jadi detektif gitu.

"Lu jangan sampai karena ada yang lebih menarik langsung pindah ke lain hati ya, Sa."

"Apaan sih, Mas, jangan su'udzon!" omelku langsung. Aku paling tidak suka kalau seseorang langsung menuduh dan menilai orang lain tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Tadi atasan gue sakit dan yang belum pulang cuma gue. Menurut lu gue harus mengesampingkan perikemanusiaan gue gitu dan ngebiarin dia sakit tanpa ada yang tahu?! Mikir, Mas!"

Mas Ares diam. Terlebih ketika mataku sudah berair. Ia kemudian menghela napasnya sesaat sebelum mengelus kepalaku. "Maaf ya, Mas gak tahu."

"Gimana lu mau tahu, Mas, kalau lu aja gak nanya dulu sama gue dan seenaknya nyimpulin sendiri."

"Iya, iya, Mas salah. Maafin Mas yaa." Mas Ares menarikku ke dalam pelukannya dan menenggelamkan kepalaku di dada bidangnya.

Seharusnya aku gak semarah ini karena masalah sepele, tapi sialnya mataku gak mau diajak kompromi. Dengan seenaknya ia meneteskan air mata dan membuatku jadi terisak karenanya.

"Ya Allah Sasa jangan nangis dong. Maafin Mas, Saa."

Bodo amat!

"SASA JANGAN LAP INGUS KE KAOS GUE!!"

Rasakan tuh ingusku! Siapa suruh bikin gadis cantik menangis?

***

"Tenang saja, sejauh ini kebiasaan saya masih memperhatikan kamu bukan merepotkan kamu."

Sejujurnya aku masih teringat ucapan Pak Deva waktu itu. Sebenarnya dia itu becanda atau gimana sih? Dia sering kasih pertanda yang membingungkan sejak dia cerita soal mantan tunangannya itu.

Jujur saja aku gak tahu harus menanggapinya seperti apa, makanya aku lebih sering 'lari' dari topik pembicaraan. Habisnya yaa aku benar-benar cuma menganggap Pak Deva tuh atasanku. Kalaupun suka ya cuma sebatas kagum aja karena dia tampan dan juga cerdas, tapi gak ada keinginan untuk punya hubungan lebih.

CRUSH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang