12. Rahasia hati

5.6K 726 15
                                    

"Dibalik mulut yang bungkam, ada rasa yang terpendam."

"Gimana, Sa, magangnya?" Saat sedang melemaskan otot-otot pinggul yang pegal karena kebanyakan duduk, Mama masuk ke kamarku dengan membawakan segelas cokelat panas untukku. Aih, mamaku ini memang terbaik!

"Lumayan capek sih, Ma, tapi seru juga kok," jawabku sambil menyeruput sedikit cokelat panas buatan Mama itu. Capek karena kerjaannya duduk doang selama berjam-jam, tapi seru juga soalnya bisa sekalian cuci mata. Apalagi hari ini ada beberapa mahasiswa dari fakultas akuntansi dan bisnis yang mau validasi. Tampilannya itu loh, Ma! Ter-manage abis! Kayak para eksekutif muda.

Mama tertawa mendengar ceritaku. "Terus tadi yang antar kamu pulang itu siapa, Sa? Teman magang?" tanyanya.

Nah kan! Mama mah ujungnya udah pasti cari info. Lagian sih tadi Pak Deva pakai antar aku sampai depan rumah, segala pakai salaman dan pamitan sama si Mama pula. Padahal sebelumnya aku sudah bilang turunin aku di minimarket ujung jalans aja eh dianya batu. Kalau gini jadinya kan aku kena gosip baru di rumahku. Untung aja Mas Ares belum pulang. Kalau udah, pasti dia bakal kasih aku banyak pertanyaan kayak petasan kawinan. Beruntut!

"Itu atasan aku, Ma. Dia kasihan sama aku takut kemalaman kalau nungguin hujan berenti. Lihat aja ini udah mau jam delapan hujannya belum berhenti juga. Coba kalau aku masih di kampus, Mama juga pasti khawatir."

"Oh gitu. Baik ya dia? Ganteng pula." Hmm, maksudnya apa nih kok Mama kayaknya mulai menjurus gitu?

"Ingat, Ma, udah punya Papa. Aku sama Mas Ares gak terima papa tiri. Apalagi kalau papa tirinya─"

Pletak! Sentilan pedas langsung mendarat di jidatku. "Ya Allah, Mama! Ini tuh kepala bukan gundu, jangan main di sentil aja," protesku padanya.

"Biarin, mirip!" ketus Mama sambil berlalu keluar. Kenapa ya cerita rakyat adanya Malin Kundang? Gak ada Mama Kundang gitu buat ibu-ibu yang durhaka sama anaknya? Kayaknya harus di-upgrade nih dongeng lama biar sesuai sama kondisi jaman sekarang.

Drrttt! Ponselku bergetar menandakan ada satu notifikasi yang masuk. Dengan cepat aku langsung membukanya sebab kutahu notifikasi itu berasal dari orang yang kutunggu-tunggu, yang seharian ini tidak memberikan kabar padaku.

Bukannya aku mau sok jadi Pak RT yang tamu wajib lapor 1x24 jam. Hanya saja sejak aku dan Kak Fandy pergi bersama ke Hutan Mangrove, hubungan kami jadi semakin dekat lagi─meski tetap saja masih tanpa kejelasan status. Setiap harinya pasti kami selalu berkomunikasi lewat chat meski hanya untuk membicarakan hal-hal random.

Kak Fandy: Kamu udah pulang?

Gak perlu menunggu waktu satu menit, karena hanya selang beberapa detik saja aku langsung mengirimkan balasan untuknya.

Sandy: Udah doong.
Sandy: Kakak juga udah di rumah?

Kak Fandy: Ya.

Sandy: Masa ya, Kak, tadi atasan aku nyeritain soal hantu kampus. Nyebelin banget kan?

Kak Fandy: Hahahaha.

Hahaha doang nih? Aku jamin ngetiknya juga pasti pake muka datar. Huh!

Sandy: Kakak capek ya? Istirahat gih.

Kak Fandy: oke.

Ini orang kenapa sih? Irit bener deh balesnya macam pakai biaya chat-nya dihitung per karakter huruf.

Sandy: Aku gak suka deh kalau kakak cuma bales 'ya', 'hahaha', 'oke'. Panjangan dikit kek. Kakak kan orang, bukan kerang ajaib.

Kak Fandy: Ya hahaha oke.

Sandy: Kdnapa malah digabungin!

Kak Fandy: 😜

Tahu ah! Sesuka dia saja udah. Kalau aku balas lagi, sampai rambut Upin Ipin jadi gondrong juga gak bakal kelar. Mending kutinggal tidur cantik aja. Mana tahu besok otak Kak Fandy sudah lebih waras.

***

Memang benar ya, di zaman sekarang ini manusia dan mesin itu sulit dipisahkan. Lihat saja yang terjadi di kampusku ini. Karena sistem lagi perbaikan, semuanya jadi kalang kabut. Yang tadinya tinggal terima jadi, sekarang harus memprosesnya secara manual lagi.

"Pulang duluan ya, Sa. Bye." Aku mengangguk seraya menyalami Mbak Dwi, Mbak Rini, juga Mas Oky yang pamit pulang satu per satu. Aku pun harus bersiap-siap untuk pulang. Beruntung cuaca hari ini cerah jadi aku gak perlu menunggu hujan sampai kemalaman kayak kemarin.

"Sa, bisa ke ruangan saya sebentar?"

Aku sedikit terkejut mendapati kemunculan Pak Deva namun tetap mengikuti langkah Pak Deva yang memanggilku ke ruangannya. "Ada apa ya, Pak?" tanyaku langsung. Jujur saja aku penasaran kenapa dia memanggilku disaat yang lain sudah pulang begini? Dia gak mau macam-macam kan? Ya kalau dia mau berbuat yang aneh-aneh juga aku tinggal teriak sih. Masih ada beberapa orang di loket keuangan yang pasti bakal mendengar teriakanku.

"Duduk," titahnya. Aku pun menduduki salah satu kursi di depan mejanya.

Pak Deva kemudian duduk di sampingku dengan kotak P3K di pangkuannya. Ia menuangkan cairan obat merah ke kapas lalu mengambil lengan kananku dan mengoleskan obat merah itu ke bagian lenganku yang memerah.

Siang tadi, saat sedang bekerja aku tidak sengaja menjatuhkan bukti pembayaran salah satu mahasiswa ke kolong mejaku. Saat hendak mengambilnya, tanganku tergores ujung meja hingga kulitnya sedikit terkelupas. Karena tidak sampai berdarah, aku mendiamkannya. Memang sih saat terkena air wudhu tadi terasa perih, tapi aku tak begitu memedulikannya.

Lalu sekarang Pak Deva tiba-tiba mengobatiku? Jangan tanya seperti apa reaksiku melihat sikap Pak Deva ini. Aku benar-benar bingung, kaget, tersentuh, semuanya jadi satu berkecamuk dalam hatiku. Seolah semua bentuk pertanyaan 5W + 1H kini sedang menari-nari di kepalaku.

Kapan dia melihatku terluka?

Apa maksudnya melakukan ini?

Kenapa dia selalu bersikap tak terduga?

Bagaimana aku harus bereaksi terhadapnya?

Argh! Aku tidak tahu!

"Kamu kan cewek, jangan serampangan gitu dong, De," gumam Pak Deva yang tertangkap dengan jelas oleh indera pendengaranku.

"De?" ulangku untuk memastikan kalau apa yang kudengar itu benar.

Pak Deva seketika langsung mematung. Bisa kulihat raut wajahnya berubah dan matanya sedikit berair, tunggu... apa Pak Deva menangis? Apa aku telah berbuat kesalahan? Bagamana ini?

"Maaf. Kamu boleh keluar," ucapnya namun aku tetap diam di tempatku.

"Bapak kenapa?" Aku melembutkan suaraku, namun reaksi Pak Deva malah semakin menjauh dariku. Dia berjalan ke arah pintu lalu membukanya.

"Sudah sore, nanti keburu macet. Hati-hati di jalan, Sandy," ucapnya. Aku mencoba mengerti kalau dia ingin sendirian meski hatiku sedikit kesal karena merasa seperti diusir. Tapi gak apa-apa, aku bisa merasakan kalau suasana hati Pak Deva sedang tidak bagus saat ini.

"Permisi, Pak," kataku seraya berjalan melewatinya, lalu mengambil tasku dan kemudian pergi dari sana. Sesaat sebelum benar-benar meninggalkan ruang akademik aku menyempatkan diri untuk menoleh sebentar. Kulihat wajah Pak Deva nampak murung. Dengan langkah gontai ia kembali masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintunya rapat-rapat. Hatiku sedikit merasa terganggu melihatnya yang murung seperti itu. Apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan?

***

To be continue

CRUSH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang