17. Konspirasi Alam Semesta

5.3K 691 2
                                    

"Kamu tahu kata apa yang sederhana namun juga rumit? Itu Cinta."

Akhirnya setelah dua minggu yang padat terus melayani mahasiswa yang validasi, hari ini antrian sudah lengang. Sampai waktu jam makan siang tadi, aku cuma kedapatan memvalidasi dua belas orang dari yang biasanya bisa sampai tiga puluhan. Sekarang aku cuma tinggal tunggu sampai jam tiga sore terus pulang deh. Besok bisa lanjut liburan lagi karena ini hari terakhir aku bantu-bantu disini.

"Lihatin jam mulu, Sa? Mau balik banget?" tegur Mbak Dwi padaku.

"Hehe jadi gak enak kepergok."

"Mau balik sekarang juga gak apa-apa, Sa. Udah gak padat antrean mah, Mbak bisa kok. Lagian tinggal satu jam lagi juga. Mau malam mingguan ya?" Mbak Dwi menggodaku seraya mencolek daguku.

"Hehehe bisa aja ah, Mbak. Biarin aja Mbak tanggung sejam lagi."

"Ya sudah kalau gitu. Mbak tinggal dzuhur dulu ya. Tadi lupa pas jam makan siang belum sholat."

"Okay, Mbak."

Sambil nunggu sampai jam tiga, mendingan aku bantu beresin arsip bukti cicilan bayaran mahasiswa hari ini. Lumayan kan kalau aku nyibukin diri pasti waktu gak kerasa.

Aku pun mulai membereskan seluruh bukti cicilan bayaran hari ini dari meja Mbak Dwi, Mbak Rini, dan Mas Oky lalu mengurutkannya berdasarkan nomor transaksi dari yang terkecil sampai terbesar. Setelah itu, aku membubuhi cap tanggal hari ini beserta cap logo badan akademik sebagai tanda kalau semua bukti cicilan ini diterima bagian akademik pada hari ini.

"Mas Oky, ini disimpen dimana ya?" tanyaku kemudian setelah selesai.

"Kasih Pak Deva aja, Sa. Biar dijadiin satu arsip sama yang kemarin-kemarin. Lemari arsipnya di ruangan Pak Deva."

Aku mengangguk kemudian melangkah menuju ruangan Pak Deva. Setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, aku pun masuk ke dalam ruangan Pak Deva. Kulihat Pak Deva sedang duduk di kursi kerjanya sambil bersandar dengan mata terpejam.

"Permisi, Pak," panggilku pelan takut mengganggu istirahatnya.

Hening. Pak Deva tidak meresponku. Apa ia tidur? Apa sebaiknya aku langsung taruh bukti-bukti cicilan ini ke lemari arsip? Ah, tapi aku tidak tahu lemari yang mana. Apa kutaruh di meja saja? Tapi kurasa itu tidak sopan. Aku pun akhirnya memutuskan berjalan mendekati Pak Deva. Sampai di depan mejanya, aku memanggilnya sekali lagi. "Pak Deva?"

Tetap tidak ada respon darinya. Apa sebegitu pulasnya ia tertidur? Aku akhirnya mencoba memberanikan diri untuk menyentuh punggung tangan Pak Deva dengan maksud untuk membangunkannya, namun ketika jemariku menyentuhnya justru aku yang kaget. Kenapa panas sekali?

Aku pun mengguncang-guncang lengannya dan untungnya usahaku berhasil membuatnya terjaga.

"Ada apa, Sandy?" tanyanya dengan suara yang sedikit serak tak seperti biasanya. Saat matanya menatapku, kulihat matanya sedikit merah. "Bapak sakit? Apa gak sebaiknya ke dokter aja? Pak Deva kayaknya kurang sehat deh," cerocosku langsung.

Pak Deva menggelengkan kepalanya sambil memijit pelipisnya dengan jemari tangan kanannya. "Cuma kecapekan sedikit. Gak masalah. Kamu ada perlu apa?"

Aku menatapnya tidak yakin. Jelas-jelas tangannya panas begitu tadi waktu kusentuh, tapi aku juga tak berhak seenaknya menyuruh dia ke dokter kalau dianya sendiri tidak mau. "Mau taruh bukti cicilan bayaran mahasiswa yang melakukan validasi hari ini, Pak."

"Ooh, taruh di lemari itu di bagian tengah." Ia menunjuk sebuah lemari kayu dengan pintu berlapis kaca. "Taruh aja nanti saya yang rapihin."

Aku mengangguk kemudian beranjak ke lemari itu. Sambil membuka kuncinya, aku terus melihat ke arah Pak Deva yang sedang menatap layar komputernya namun matanya berkali-kali mengedip dan sesekali tangannya mengusap wajahnya. Ck! ini orang jelas-jelas sakit masih aja memaksakan diri.

"Sandy..." panggilnya dan aku pun menoleh. "Ini hari terakhir kamu bantu-bantu disini ya?" tanyanya dan aku mengangguk sebagai jawaban.

"Makasih ya sudah membantu meringankan pekerjaan disini."

"Sama-sama, Pak. Saya juga dapat pengalaman disini."

"Besok gaji kamu saya transfer ya. Tolong tuliskan nomor rekening kamu disini."

Setelah mengunci kembali lemari arsip itu, aku pun mengambil kertas dan pulpen yang disodorkan Pak Deva lalu menuliskan nomor rekeningku di sana. "Sudah, Pak."

"Oke, terima kasih banyak ya."

"Bapak yakin gak mau pulang aja gitu? Atau cek ke klinik sini dulu. Kayaknya Pak Deva sakit deh."

Ia menyunggingkan senyum tipisnya lalu menggeleng. "Saya baik-baik saja, kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu yang lain," ujarnya sambil kembali berkutat dengan komputernya.

Aku menghela napas sejenak. "Ya sudah, Pak, saya permisi dulu." Pak Deva mengangguk tanpa melihat ke arahku. Aku pun meninggalkan ruangannya. Biarin aja lah, dia ini yang ngerasain sakitnya. Kulihat jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul dua lebih empat puluh menit. Sebentar lagi aku bisa pulang. Sebaiknya aku membereskan barang-barangku lebih dulu.

"Pulang duluan yaa semua, bye!" Mas Oky yang pertama kali berpamitan pada kami tepat saat jam tiga kurang lima menit. Dari ruangan badan akademik sampai ke finger print membutuhkan waktu lima menit, jadi Mas Oky akan pulang tepat pukul jam tiga sore. Penuh perhitungan sekali ya mas-mas satu itu.

"Pulang sana, Sa. Kamu mah kan gak absen pakai finger print. Mbak jadi kamu mah dari abis jam makan siang langsung ngacir."

Aku tertawa mendengar Mbak Rini bicara seperti itu. "Makanya Allah gak kasih Mbak kesempatan jadi aku. Soalnya Dia tahu Mbak bakal kabur-kaburan."

"Oh iya ya? Betul juga kamu, Sa, hahaha."

"Ya sudah kalau gitu aku yang pulang. Suamiku udah nunggu di belakang." Mbak Dwi pun berdiri dari kursinya.

"Eeh, bareng dong, Wi. Aku mau ke minimarket di belakang. Sandy, gak apa-apa kita tinggal duluan?"

Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mbak Rini. "Tenang aja, Mbak."

"Kita pulang ya, Sa. Eh iya, makasih udah bantuin kita disini. Hari Senin nanti kamu kesini lagi ya, Sa. Kita makan-makan sekaligus perpisahan gitu ceritanya. Kalau hari ini kita mau pada malem mingguan kan hahahaha."

"Ditraktir Mbak Rini ya?" godaku.

"Iya, boleh deh boleh."

"Asik! Oke Mbak kalau gitu."

"Ya sudah pulang dulu ya. Assalamualaikum cantik."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya Mbak Rini, Mbak Dwi juga."

Sepeninggal Mbak Rini dan Mbak Dwi, aku tinggal sendirian di loket badan akademik ini. Ada sih sebenernya beberapa orang di badan keuangan yang loketnya di seberang sebelah kiri dari badan akademik, cuma aku gak begitu kenal orang-orangnya. Kayaknya mereka orang-orang yang jabatannya setingkat sama Pak Deva. Soalnya jarang aku melihatnya. Ah, ngomong-ngomong Pak Deva, apa dia gak pulang? Mungkin sebaiknya aku ke ruangannya dulu sekalian berpamitan. Toh, ini terakhir kali aku kerja disini, belum tentu semester depan masih bisa lagi. Kalau sistem sudah kembali normal sih kayaknya aku gak bakal dibutuhkan di sini.

Sambil membawa tasku, aku pergi ke ruangan Pak Deva. Saat masuk ke dalam, kulihat dirinya sedang berbaring di sofa. Jasnya sudah ia tanggalkan. Ia hanya memakai kemeja putih dengan dasi yang juga sudah dilonggarkan. Semakin berjalan mendekatinya, aku bisa mendengar samar suara rintihan dari bibirnya.

Pak Deva kenapa?

***

To be continue

CRUSH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang