6. Seze itu adalah...

59 17 2
                                    

Lila pasrah berbaring di atas dipan keras tanpa kasur. Lelah. Apa ini mimpi? Bukan, jika bukan maka besok adalah hari Senin. Itu artinya ia akan ketinggalan mata pelajaran favoritnya, matematika. Sudahlah, membayangkannya saja membuat masa depan Lila suram.

Disela keinginan Lila mencoba untuk terpejam, Naura malah sibuk bercakap ria dengan si nenek.

"Nek, eh Nyai gini, sebenarnya hari ini gue tuh sial banget. Apa-apa gak berjalan dengan mulus, selalu aja ada hambatan. Dan gini, gue kesel sama kedua teman gue sudah ngerjain gue habis-habisan terus si Seze Nyai," jelas Naura kepada si nenek yang seolah mendengarkan perkataan Naura dengan serius.

"--dia kan cowok keren di sekolah gue masalahnya gue suka sama dia tapi dia gak Nyai, gimana dong!" lanjut Naura menurunkan tinggi suaranya.

Si nenek lantas tertawa sambil memasukkan beberapa serpihan sesuatu ke dalam api membuatnya membesar.

"Lelaki itu sebentar lagi akan menyukaimu, asalkan kau mau melakukan sesuatu," jawab si nenek tepat sasaran akan apa yang diinginkan Naura, lantas ia-pun tersenyum bahagia.

"Tapi bagaimana bisa Nyai?" tanya Naura merasa kurang yakin.

"Hahaha," tawa si nenek menggelegar.
"Tertawa gitu nek?" tanya Naura polos membuat si nenek menghentikan tawanya.

"Bawakan aku sebuah batu bersegi empat yang ada di sebuah desa yang sudah lama hilang berabad tahun lalu." Jelas si nenek membuat Naura menganga.

"Gak mungkin nek! Emang ini kayak di film apa, ada yang begituan. Kalau emang udah lama hilang, gimana gue bisa tahu letak desanya?"

"Membuat seseorang jatuh cinta kepada kita itu hal tersulit," ucap si nenek penuh arti.

"Iya sih, tapi apa setimbang antara mendapatkan batu itu dengan mendapatkan cinta Seze. Semua terasa sulit, tapi apapun itu demi Seze sang pujaan hati," balas Naura cengengesan.

Selesai berbincang panjang dengan si nenek, Naura pamit pergi ke kamar serta si nenek memberikan benda yang dibalut secercak kain hitam. Jujur, ini kali pertama Naura berjumpa dengan seorang dukun seaneh ini. Merepotkan.

*

Esok harinya, Naura dan kedua temannya serta Tresno berpamitan pulang kepada si nenek. Hondo sudah sadar, namun dia lebih banyak diam. Sebenarnya, untuk mendapatkan cinta Seze Naura sudah akan menyerah jika bukan si nenek hanya mengatakan hanya ada satu solusi untuk kesembuhan Hondo. Naura terpaksa melakukan itu, demi Hondo. Ia tidak kuasa melihat kondisi Hondo yang diluar kendali.

"Roh dan jiwa Hondo ada di tempat itu. Si nenek bilang kita harus cepat sebelum Hondo kehilangan kendali tubuhnya seutuhnya," ucap Naura dari belakang kemudi.

Wajah Naura tampak panik, ia berusaha untuk tenang namun gagal.

"Tenanglah Ra, bukan cuma lo yang khawatir, gue juga teman si Hondo. Nanti kalau udah sampai, kita langsung kesana, oke!" balas Lila dengan wajah setengah mengantuk.

"Nono juga Na, sama ngerasain yang sama." Sambar Tresno mengikut, membuat Lila hampir tersedak.

"Kapan lo jadi teman Hondo?" ngingir Naura jengkel.

Ini terlalu pagi. Ayam saja belum terbangun, terlebih matahari belum terbit, hari masih gelap. Kalau bukan karena Lila yang mengejar mata pelajaran matematika pak Eesr, maka Naura tidak akan sepanik ini.

Arduous Path (On Going) Where stories live. Discover now