"Ke sini sama Tante Aria, ya?" tanya Papa begitu pelukan keduanya telah terurai.

Gita mengangguk. "Tapi, Tante Aria lagi sedih."

Papa Gita tersenyum sendu. Lalu, ia mengambil sebuah kotak makan dari dalam sebuah tas kertas yang terlihat agak lusuh akibat robekan yang dimilikinya. Disodorkannya kotak makanan itu pada Gita. "Nih, dari Mama. Kamu makan dulu, ya. Ajak Aiden makan juga."

Gita menyambut kotak makan itu dengan semangat, lalu mengangguk. Ia pun berbalik pergi untuk menghampiri Aiden. Sepupunya tersebut kini tengah bertopang dagu, dengan mata yang terfokus pada suatu titik imajiner di seberang ruangan. Wajahnya terlihat pucat pasi, seolah-olah semua darah pada wajahnya telah tersedot habis dari tubuhnya.

"Kak Aiden, ayo makan. Kakak pucat banget," ujar Gita panik sembari duduk di sebelah Aiden, kemudian segera membuka kotak makannya.

Semerbak harum nasi goreng buatan Mama langsung menusuk-nusuk indra penciuman Gita. Gadis itu tersenyum senang sambil mulai menyendokkan isinya untuk dimasukkan ke dalam mulut. Namun, tiba-tiba, Tante Aria bangkit berdiri dan menghampirinya. Ia berlutut di depan Gita yang kebingungan, lalu memeluk gadis kecil itu dengan erat.

"Tante? Tante kenapa?"

Tante Aria menggeleng pelan. Perlahan, bagian bahu baju Gita terasa basah. "Tuhan sayang sama Gita."

"Oh, ya?" tanya Gita.

"Iya," balas Tante Aria, perlahan menguraikan pelukannya sambil tersenyum tipis pada keponakannya itu. "Nanti, waktu Gita udah bisa ketemu sama Mama, peluk dia erat-erat, ya? Bilang kalau Gita sayaaang banget sama Mama."

Gita melongo, namun tak urung tetap mengiakan.

Sayangnya, hal itu tidak pernah terjadi.

Jakarta,

saat ini


Mataku terasa berat ketika aku mencoba untuk membukanya. Perlahan, pancaran sinar lampu mulai menyelip masuk melewati kelopak mataku, membuatku harus mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan intensitasnya. Kugerakkan tangan dan kepalaku yang terkulai lemas. Leherku sepertinya sudah sekaku batang pohon.

Butuh waktu beberapa menit hingga aku menyadari bahwa aku tengah berada di dalam ICU. Pandanganku bergeser untuk mulai memindai seisi ruangan, mencari sosok yang sekiranya terlihat familier, sementara otakku berputar cepat mengingat-ingat alasan utama mengapa aku bisa berada di sini.

Ah, karena mendengar ucapan Indra tadi. Reaksiku berlebihan sekali. Memalukan, padahal dia pasti hanya bercanda. Lagipula, mengapa aku bisa pingsan hanya karena kaget, sih? Sangat bukan aku.

"Gita?"

Sebuah suara yang tidak asing membuatku mengarahkan pandanganku ke arahnya. Mataku langsung bertemu dengan manik mata Elang. Cowok itu mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya cepat-cepat bangkit berdiri.

"Lo nggak apa-apa? Ada yang sakit? Mau gue panggilin dokter? Atau lo mau minum dulu?" tanyanya dalam satu tarikan napas.

Aku menggeleng pelan sambil mengernyit. Mataku beralih untuk menatap Aiden, yang berdiri di sebelah Elang dengan ekspresi seperti orang yang telah menahan buang air besar selama dua jam dan akhirnya dapat mengeluarkan kotorannya itu setelah penantian sekian lama — atau singkatnya, wajahnya menunjukkan ekspresi lega yang luar biasa.

Dengan sigap, Aiden meraih sebuah gelas dari meja dan menuangkan air ke dalamnya. Lalu, disodorkannya gelas tersebut ke arahku. "Minum. Sumpah, lo kenapa, sih? Jantung gue hampir copot, Mbul!"

Aku tertawa kecil setelah menyeruput sedikit air. Tenggorokanku yang awalnya terasa sangat kering, perlahan mulai terasa lebih licin dan melegakan. "Gue juga nggak tahu. Kok lo ada di sini?"

"Gue tadi lihat Elang di UGD," jawab Aiden sambil mengambil kembali gelas tadi dengan tangannya.

Aku manggut-manggut. "Lo ngabarin papa gue?"

"Belum," geleng Aiden. "Lo mau gue kabarin dia?"

"Nggak usah!" sahutku cepat. Aku tidak mau membuat Papa khawatir, karena sudah banyak hal lain yang perlu ia khawatirkan. Lagipula, Papa pasti akan panik berlebihan. Aku juga jadi tidak bisa berpikir jernih mengenai masalahku ini.

Aiden menatapku sejenak, kemudian mengisyaratkan Elang untuk pergi, mungkin memanggil dokter. Teman sekelasku itu dengan patuh langsung beranjak, meninggalkanku berdua bersama Aiden yang sepertinya sudah siap mengomel. Namun, bukannya omelan, ia justru melontarkan pertanyaan dengan suara tenang.

"Apa ini karena Indra?" tanyanya pelan, hampir berbisik. Matanya memancarkan puluhan ekspresi berbeda, sementara ia bergerak untuk mengambil sebuah bangku dan duduk di atasnya.

Aku mengembuskan napas. "Kayaknya. Gue juga nggak ngerti. Semuanya terasa aneh bagi gue. Kenapa begini ... kenapa begitu ...? Gue mau pingsan lagi aja."

"Jangan!" sembur Aiden langsung sambil memukul kepalaku pelan. "Lo harus hadapi masalah yang lo punya, Git, bukannya lari ketakutan."

Aku tahu, Aiden. Hanya saja, ini semua sangat membingungkan! Pertama, kalau Indra ternyata benar-benar teman imajinasiku, mengapa dia bisa mengakuinya? Apakah itu termasuk imajinasiku juga? Apakah otak bawah sadarku bekerja ... yah, sesuai namanya, tanpa kesadaranku?

Atau ... ternyata, Indra berkata bohong? Bahwa dia bukanlah teman imajinasiku, melainkan sosok lain? Tapi, mengapa hanya aku yang bisa melihatnya? Kalau dia adalah hantu, mengapa aku tidak bisa melihat hantu lain? Lagipula, aku juga tidak memiliki indra keenam.

Aiden menjentikkan jarinya di depan mataku, membuatku kembali tertampar pada kenyataan yang tengah terjadi. Di sekitarku, bunyi alat kedokteran dan suara langkah-langkah kaki yang terburu-buru, milik perawat dan keluarga pasien, terdengar bersahut-sahutan. Rasanya aku ingin memejamkan mataku lagi dan pingsan terus sampai semuanya berakhir. Tapi, seperti kata Aiden, semuanya tidak akan berakhir kalau aku tidak menghadapinya.

Aku menutup mataku, lalu membukanya lagi. Tepat saat itu, seorang dokter muda menghampiri tempat pembaringanku. Ia tersenyum sejenak ke arah Aiden, sebelum akhirnya menatapku dari balik kacamatanya.

"Kenapa nggak lo aja yang periksa gue?" tanyaku pada Aiden ketika dokter tersebut mulai memeriksa denyut jantung dan tekanan darahku.

Aiden hanya menggeleng. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas putihnya, sebelum akhirnya memberikan sebuah kartu nama pada Elang dan pergi setelah melambai-lambaikan tangannya ke arahku dengan lemas.

Dasar orang aneh.

"Itu apa?" tanyaku pada Elang yang tengah membolak-balikkan kartu nama tersebut dengan kening berkerut.

Elang menatapku sejenak, kemudian menggeleng. "Nanti aja, kalau lo udah sehat."

Aku berdecak. "Sini!"

Dokter yang tengah menanganiku, Wira namanya, menepuk-nepuk tanganku. "Tolong jangan banyak bergerak dulu, ya."

"Oh, iya. Maaf," ujarku sambil kembali berbaring. Kupelototi Elang, hingga akhirnya cowok itu menyerah dan menyodorkan kartu nama tersebut padaku. Aku meraihnya dengan tanganku yang bebas.

Begitu mataku membaca tulisan yang tertera pada kartu tersebut, aku merasakan jantungku mencelos.


Dr. Hera Putri Harmoni, Sp.Kj

Psikiater


Aiden sudah gila, ya? Dia pikir aku butuh dokter kejiwaan? Aku tidak tahu apakah aku harus merasa sedih atau marah. Mungkin keduanya.

Kulempar pandanganku ke arah Elang yang tengah menatapku tanpa suara. Ia menunduk sesaat, kemudian duduk di tempat Aiden tadi duduk. Cowok itu kelihatan kehilangan kata-kata selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia membuka mulut.

"Mungkin Aiden salah sangka," ucapnya perlahan. "Dia bukannya menganggap lo gila, Gita."

"Gue nggak mau denger."

-

Sabtu, 11 November 2017

Indra ke-6Where stories live. Discover now