2.1

3.8K 650 18
                                    

-

BAB DUA PULUH SATU

"It's hard to believe in coincidence, but it's even harder to believe in anything else."

― John Green, Will Grayson, Will Grayson

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita bersenandung pelan sambil berjalan bersama dengan Muffin yang terus menggonggong dan berlari ke sana kemari. Beberapa kali, Gita nyaris jatuh terjungkal ketika anjing itu berhenti di depan kakinya. Dengan sabar, Gita terus melangkah untuk menuntun Muffin pada Indra yang entah berada di mana.

Sambil terus berjalan, Gita celingukan mencari sosok temannya itu. Agak heran juga, karena biasanya Indra akan ada di sana tiap kali Gita membutuhkannya. Mungkin, kali ini Indra sedang sibuk? Sibuk bersama mamanya, misalnya. Gita sadar kalau Indra jarang menghabiskan waktu bersama keluarganya akibat terlalu sering bermain dengan Gita yang kesepian di rumah selama Mama dirawat di rumah sakit, sehingga Gita bisa maklum kalau hari ini Indra memutuskan untuk absen.

Tapi, pemikirannya tersebut terbantahkan begitu gadis itu melihat sosok Indra yang tengah duduk di dekat rumahnya. Mata Indra bertemu pandang dengan matanya. Gita harus berdeham sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain agar dapat menekan rasa senang yang timbul secara berlebihan di dalam hatinya.

Muffin menyalak ke arah Indra sambil berhenti berjalan begitu jaraknya dan Gita dengan Indra hanya tinggal tiga langkah. Anjing itu mendongak menatap Gita, seolah-olah bertanya, "Ini temanmu yang namanya Indra itu?".

Jadi, Gita pun mengangguk. "Muffin, ini Indra. Indra, ini Muffin. Menurut kamu, dia belum punya pemilik, 'kan?"

"Belum," jawab Indra setelah memperhatikan Muffin dengan seksama. "Lucu banget."

"Iya, 'kan? Dia ada di taman, jadi aku ambil aja," sahut Gita dengan semangat menggebu-gebu. Kemudian, gadis itu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Muffin agar dapat menatap anjing tersebut. "Kamu laper?"

Muffin menggonggong.

Gita mengusap-usap kepala Muffin. "Nanti aku minta Papa beliin makanan anjing. Tapi, kamu nggak boleh berisik, oke?"

Muffin menggonggong lagi. Gita pun menghela napas pasrah. Dialihkannya pandangan agar dia dapat menatap Indra. Anak laki-laki yang sejak tadi tak berhenti memperhatikan Gita itu mengangkat sebelah alisnya.

"Kenapa?" tanya Indra.

Gita bangkit berdiri. "Menurutmu gimana, kalau aku pelihara dia?"

Indra tersenyum dikulum. Dada Gita terasa menghangat melihat senyuman itu. Butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya Indra mengangguk-angguk. "Ide bagus. Dia bisa menjaga kamu, kalau misalnya aku lagi nggak bisa main sama kamu."

"Kita harus main bertiga terus," ralat Gita sambil sedikit memanyunkan bibirnya.

Indra tertawa. "Iya, deh. Kebetulan, aku bawa tulang. Buat Muffin bisa, nih."

"Buat apa kamu bawa tulang?" tanya Gita heran, namun tak urung menerima uluran tulang yang disodorkan Indra. Gadis itu menawarkan tulang tersebut pada Muffin yang langsung mengunyahnya dengan semangat.

Indra berpikir sejenak. "Hm, awalnya aku mau main jadi arkeolog-arkeolog gitu."

"Arke—apa?"

Indra ke-6Where stories live. Discover now