2.7

3.4K 563 27
                                    

BAB DUA PULUH TUJUH

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB DUA PULUH TUJUH

"We didn't want to admit it then, but we were friends. Best friends."

― Shannon Celebi

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Bu Sarah mengabarkan kalau lomba menggambar dari majalah yang dibicarakannya kemarin meminta para peserta untuk mengirim hasil karya sekaligus biodata lengkap mereka melalui surel. Waktu pengiriman dimulai lusa, dan berakhir dua minggu setelahnya. Gita segera mencatat semua informasi itu pada buku catatan kecilnya.

Guru seni lukisnya tersebut juga berkata kalau ia dapat membantu Gita dalam membuatkan biodata, sehingga Gita pun langsung menyetujui sambil memeluk gurunya itu dengan hati berbunga-bunga karena senang dan semangat.

Sepulangnya dari sekolah, Papa mengantar Gita ke toko buku untuk membeli peralatan menggambar yang lebih lengkap lagi. Gita juga memutuskan untuk mencoba memakai cat air, sehingga dia tidak hanya memasukkan kotak krayon dan spidol-spidol ke dalam keranjang belanjanya.

Mama mengajarkan dan membimbing Gita dengan telaten sampai gadis itu mahir melukis dengan cat air. Indra juga membantu, atau terkadang menawarkan diri untuk menjadi model kalau Gita kebingungan memilih objek yang harus ia gambar. Beberapa kali, Muffin ikut pula berpartisipasi, meskipun lama-lama anjing tersebut bosan dan memilih untuk tidur siang sambil bersandar pada Gita.

"Aku yakin kamu pasti bisa," ucap Indra ketika mereka tengah duduk di taman yang sepi pada siang hari nan terik itu.

Gita menoleh pada Indra, lalu menunjukkan senyum tiga jarinya. "Makasih."

"Jadi, kamu udah tahu mau menggambar apa untuk lomba nanti?" Indra meraih tiga buah kentang goreng dari tempat makan Gita, mencocolnya dengan saus sambal dan tomat, lalu melahapnya sekaligus.

Gita memperhatikan Indra yang kemudian menjilat saus sambal yang menempel pada jari telunjuknya. Menghela napas, gadis itu pun mengedikkan bahu. "Belum. Temanya bebas, tapi aku malah jadi bingung harus gambar apa."

Indra mengerucutkan bibir, seolah tengah berpikir. "Kamu gambar mamamu aja?"

"Jangan. Nanti nggak bakalan kelihatan mirip mamaku."

"Benar juga," sahut Indra, kemudian terbahak ketika Gita memelototinya dengan galak. Setelah tawanya mereda, anak laki-laki itu melemparkan pandangannya ke arah buku dan kertas-kertas gambar Gita yang berceceran di atas rumput. Keduanya terlalu malas untuk merapikannya tadi, sehingga mereka duduk-duduk saja tanpa menyentuh barang-barang Gita yang berantakan.

Indra mengelap tangannya yang berminyak pada celana yang dikenakannya, lalu menunjuk buku gambar Gita yang berada di atas kertas gambar yang menampilkan sketsa Indra yang sedang bermain kejar-kejaran dengan Muffin. Gita menatap Indra dengan raut wajah dipenuhi tanda tanya.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang