3.8

3.7K 569 40
                                    

BAB TIGA PULUH DELAPAN

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BAB TIGA PULUH DELAPAN

"A question that sometimes drives me hazy: am I or are the others crazy?"

― Albert Einstein

-


Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


"Kak Aiden," panggil Gita dengan lirih sambil memperhatikan sekelilingnya dengan bingung. Gita tak kunjung melepaskan genggamannya pada ujung kaus yang dikenakan kakak sepupunya itu sejak tadi. "Kenapa kita ke sini?"

Aiden menggigit daging pipi bagian dalamnya. Matanya menatap lurus ke depan, sementara kakinya melangkah cepat menyusuri koridor, mengikuti mamanya dan juga seorang perawat yang tengah memandu mereka. "Aku juga nggak yakin seratus persen."

"Terus, yakin berapa persen?"

"Aku nggak tahu, Gita."

Gita mengerucutkan bibir. Ia pun bungkam dan memilih untuk terus berjalan mengikuti Aiden, meskipun perasaan bingung dan takut mulai merayap masuk ke dalam hatinya. Mata gadis itu kembali bergerak liar menatap sekelilingnya, mencoba mencari tahu alasan pasti mengapa Aiden dan Tante Aria mengajaknya ke sini.

Mereka berbelok, memasuki koridor lain. Sebuah pintu yang merupakan gerbang antara koridor dengan ruang operasi pun terlihat. Sang suster menghentikan langkah, kemudian menunjuk ke arah deretan bangku panjang yang terletak di dekat situ.

"Mohon ditunggu sebentar," ucapnya sambil tersenyum ramah, sebelum akhirnya melangkah meninggalkan Gita, Aiden, dan juga Tante Aria.

Tante Aria langsung menjatuhkan dirinya ke permukaan kursi yang dingin. Wajahnya ia tenggelamkan pada tangkupan telapak tangannya, dan punggungnya sedikit bergetar. Aiden cepat-cepat melepaskan genggaman tangan Gita pada kausnya untuk memeluk mamanya itu, demi memberi kekuatan dan juga sebagai sebuah simbol penghiburan. Merasa bingung, Gita pun duduk di sebelah Tante Aria. Bibirnya masih terkatup rapat, karena tidak tahu harus berkata apa.

Gita melemparkan pandangan ke arah pintu ruang operasi yang berada di sebelahnya. Matanya membulat ketika ia menyadari sebuah sosok familier tengah bersandar pada dinding di koridor yang sama. Gadis itu sontak berdiri. Kakinya melangkah cepat untuk menghampiri sosok tersebut.

"Papa!" panggil Gita ceria. Kedua tangannya terjulur ke depan, bersiap menyapa papanya itu dengan sebuah pelukan hangat.

Pria yang dipanggil menoleh ke asal suara dengan wajah yang terlihat lelah. Senyumnya, meskipun tidak sampai ke mata, langsung terukir lebar begitu netranya menangkap sosok Gita yang tengah berlari ke arahnya. Ia buru-buru berjongkok, kemudian menyambut pelukan Gita dengan tak kalah dalam dan hangat.

Indra ke-6Where stories live. Discover now