3.0

3.2K 588 31
                                    

BAB TIGA PULUH

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB TIGA PULUH

"It takes strength and courage to admit the truth."

― Rick Riordan, The Red Pyramid

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Sesampainya di rumah siang harinya, Gita langsung melempar tubuhnya ke atas tempat tidur dan menenggelamkan wajahnya dalam-dalam pada bantal. Gadis itu menjerit sekuat tenaga, memukul-mukuli kasurnya yang tidak bersalah, berguling-guling sampai akhirnya terjatuh ke lantai, hingga akhirnya ia pun menangis tanpa suara. Tetes demi tetes air mata bergulir turun dari mata, menuju pipinya, kemudian terjatuh dan menimbulkan bercak bulat yang kian membesar pada permukaan sarung bantal yang dipeluknya.

Gita sakit hati. Dia marah. Bukan karena ucapan Elang mengenai dirinya dan gambar buatannya, namun dadanya bergemuruh sejak tadi karena anak laki-laki itu membawa-bawa nama mamanya. Gita tidak suka, siapapun itu, mengucapkan nama mamanya dalam konotasi yang buruk. Elang mungkin berkata kalau Gita tidak sehebat mamanya — yang berarti mama Gita jauh lebih baik dari Gita, dan itu benar — tapi Gita tidak terima karena mamanya-lah yang mengajarkannya melukis Indra untuk lomba tersebut.

Gita memejamkan matanya, mengelap keduanya dengan lengan jaketnya yang panjang, sebelum akhirnya melemparkan pandangan ke luar jendela. Tirai jendela kamarnya yang terbuka lebar memudahkannya untuk memperhatikan langit biru yang dihiasi oleh awan-awan putih yang lembut bagaikan gulali.

Memperhatikan langit, Gita perlahan merasa tenang.

Gadis itu menekuk kedua lututnya dan memeluknya dengan kedua lengan, lalu menyandarkan kepalanya di sana. Disedotnya ingus yang memenuhi hidung, sementara matanya mengerjap-erjap pelan.

Sebelum Gita sempat terbang ke alam mimpi, pintu diketuk dari luar. Gita menegakkan tubuh sambil menoleh dengan cepat ke arah asal suara. Meregangkan otot sesaat, kemudian ia pun melangkah menuju pintu. Ditariknya benda berbentuk balok dari kayu itu dengan pelan. Setengah dari wajahnya menjenguk ke luar, sementara setengahnya lagi tetap bersembunyi.

Ternyata Mama.

"Boleh Mama masuk?" tanyanya lembut.

Gita terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ditariknya pintu agar terbuka lebih lebar lagi, sebelum akhirnya ia menutup pintu itu kembali setelah Mama berada di dalam ruangan. Mama, seperti biasanya sejak ia pulang dari rumah sakit, mengenakan piyama berlengan panjang dan bercelana panjang. Melihat Mama, air mata Gita mulai merebak keluar lagi.

Mama terduduk di atas tempat tidur Gita. "Ayo, duduk sini. Cerita sama Mama, tadi di sekolah ada apa?"

"Bu Guru cerita ke Mama?" tanya Gita sesenggukan. Kakinya melangkah pelan menghampiri mamanya.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang