Day 26. Hah?!

12K 2.1K 537
                                    

Keesokan harinya aku dijemput oleh Kak Mias ketika pulang sekolah. Aku nggak tahu kalau Kak Mias akan menjemputku secara mendadak seperti ini. Setahuku, Kak Mias memang punya sesuatu yang harusnya dilakukan, yang lebih penting daripada menjemputku.

“Kok Kak Mias di sini?” Aku melongo. Bayangan tragedi nggak berdarah itu kembali terbayang di otakku. Aku menelan ludah gugup sekali lagi.

“Meis kabur duluan. Katanya dia nggak butuh dijemput.”

“Kakak kejar aja, siapa tahu dia baru sampe deket-deket sini...”

Kak Mias menggeleng. “Nggak jadi! Aku jemput kamu aja. Kamu yang kelihatan di depan mataku.”

Aku gugup. Bagaimana cara menolak Kak Mias? Meis sudah melarikan diri lebih dulu. Aku nggak bisa nyaman berdua dengan Kak Mias, meski sikapnya padaku sudah berubah banyak.

“Kak Mias...” Aku berbisik pelan.

“Ya?”

“Aku bisa pulang sendiri aja.”

“Naik aja, lah! Daripada kamu nunggu ojek atau bis.”

“Nggak, ah, Kak!”

“Aku juga harus ngomong sesuatu sama kamu.”

Ini yang paling kutakutkan dan kuhindari. Aku takut sesuatu yang menyebalkan terjadi. Bukan karena aku nggak ingin menyakiti Kak Mias, tapi aku hanya ingin bahagia sebentar saja. Iya, aku memang bodoh!

Gara-gara ciuman itu aku jadi gugup sekali. Alga mengatakan itu ciuman, tapi Meis mengatakan itu nggak sengaja dan juga nggak penting. Masalahnya, aku bingung harus mendengarkan siapa.

Hatiku seperti yang Alga katakan, tapi otakku mengatakan agar aku nggak baperan seperti kata Meis. Aku menurut dan mengikuti Kak Mias tanpa Meis untuk yang kedua kalinya. Meis benar-benar menyebalkan!

Kami berhenti di sebuah cafe cokelat. Aku suka makanan manis dan asin, terutama cokelat dan keju. Sekarang Kak Mias membawaku ke tempat yang nggak mungkin bisa kubenci.

“Kok kita ke sini, Kak?” tanyaku pelan. Kak Mias melangkah lebih dulu, lalu mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Aku menggeleng ragu.

“Mau digandeng atau digendong?” tanyanya balik.

Aku menurut tanpa protes lagi. Aku mengikuti langkah kaki Kak Mias dan akhirnya duduk manis di salah satu kursi. Kak Mias duduk di depanku. Dia memesan chocolava favoritku. Dengan sungkan aku juga pesan yang sama.

Juga...

“Sama pesen es cream-nya juga, ya! Yang choco with strawberry.”

Itu juga favoritku. Tanpa menunggu pendapatku, Kak Mias sudah memesan dua sekaligus. Dia sudah bisa membaca apa yang kuinginkan. Atau hanya sebuah kebetulan semata?

Kak Mias tersenyum. Aduh, ini cafe sudah manis isinya, jangan ditambahi lagi dengan senyuman itu, Kak! Aku nggak kuat!

“Maaf kalau aku bawa kamu ke sini tanpa izin dulu.”

Aku menggeleng pelan. “Nggak apa, Kak.”

“Aku pengen ngomong semuanya. Kemaren... aku udah ngomong hal yang bodoh ke kamu, tapi jujur... sumpah, aku nggak pernah mikir jahat! Ah, aku ada pikiran jahat sebenernya... aku pengen ngelakuin hal lebih... eh... maaf...” Kak Mias bicara panjang lebar. Mukanya memerah dan dia gugup.

Aku juga menunduk malu. Semuanya seolah dipaparkan di depanku. Aku nggak bisa seperti ini lagi sekarang.

“Maafin aku, Kak!” kataku pelan.

30 Days Make Me Feel Your LoveDär berättelser lever. Upptäck nu