Day 1. Aku dan Meis

17.9K 2.5K 178
                                    

            Aku dan Meis bersahabat sejak kecil. Dia sahabatku. Meski jarak rumah kami nggak terlalu dekat, tapi aku sering berkunjung ke rumahnya hanya untuk sekadar bermain. Kedua orang tua kami juga bersahabat sejak mereka masih SD hingga berkeluarga seperti sekarang. Dan anak mereka pun bersahabat. Meis anak bungsu, aku anak sulung. Adikku cewek. Kakak Meis cowok.

Meis anak yang ceria dan juga banyak bicara. Dia berbeda denganku. Aku nggak suka ngomong kalau nggak ditanya. Aku nggak suka berteman dengan orang baru. Aku butuh waktu untuk bergaul dengan mereka. Aku nggak terlalu nyaman dengan perkenalan seperti itu. Kalau saja orang tua kami nggak kenal dekat, mungkin aku dan Meis nggak akan pernah bersahabat hingga seperti ini. Aku nggak akan pernah punya teman seumur hidupku. Aku terlalu sungkan dan takut menyakiti orang lain, jadi aku lebih suka diam. Lebih suka bermain sendiri, menatap bunga yang memang diciptakan tumbuh bersama dan berdampingan. Mama bilang aku tertutup, padahal nggak begitu!

Aku bisa saja akrab dengan orang lain, tapi mereka juga harus menerimaku yang seperti ini! Mama bilang, aku terlalu lembut. Padahal aku juga bisa bertingkah kasar.

Hingga akhirnya Meis mengetuk pintu hatiku dan memperkenalkan arti sebuah persahabatan. Aku menerima Meis karena dia adalah teman yang jujur dan apa adanya. Meski tingkahnya terkadang menyebalkan. Jahil dan juga iseng sekali! Aku sering dibuat kesal, tapi entah kenapa aku nggak bisa membencinya.

Persahabatan kami dimulai dari sebuah kisah klise tentang masa kecil yang akhirnya menjadi kenangan tersendiri untukku. Waktu itu aku dan Meis masih TK. Meis mengajakku berkenalan ketika Mama terlambat menjemputku. Meis pun begitu. Bundanya masih sibuk dan agak terlambat, itu katanya. Kami berdua menunggu bersama. Kami menggambar bersama, hingga akhirnya ibu kami muncul.

Mereka terkejut, lalu melongo dan tertawa. Mereka berpelukan, lalu mulai bernostalgia. Aku dan Meis diabaikan, jadi kami kembali bermain bersama waktu itu hingga sore. Mereka sudah lama berpisah dan akhirnya bertemu kembali. Bunda Meis bilang ini kejutan, tapi nggak tahu kalau aku juga bersekolah di TK yang sama dengan anak bungsunya.

Lalu hari-hariku bersama Meis dimulai. Awalnya aku masih ragu menghampiri Meis. Meis pintar menggambar. Semua orang mengelilinginya.

"Mahi nggak mau ikutan?" Suara Meis menyentakkan lamunanku. Aku berkedip ragu. Beberapa orang menatapku, menungguku menjawab.

Namaku Mahiyang. Artinya? Mahesa nama papaku, Iyangga nama mamaku. Jadi mereka membuat nama ini agar semua orang tahu kalau aku anak mereka.

"Boleh?" Aku menggaruk tengkuk gugup. Meis mengangguk ceria, dan semua orang tanggap dengan respon Meis. Mereka membukakan jalan untukku bergabung. Aku terpaksa ikut dan memperhatikan gambar Meis.

Nggak heran kalau guru-guru sangat memuji gambaran Meis. Gambarannya bagus sekali! Aku hanya bisa menatap jemari Meis yang menggoreskan crayon di atas buku gambarnya. Semua orang menatapnya dan tersenyum kagum.

Mereka pulang satu-persatu ketika orang tua dan pengasuh mereka menjemput. Lagi-lagi, hanya tinggal aku dan Meis menunggu ibu kami.

"Bundaku lama, Mahi!"

"Sama, Is. Mamaku juga lama."

"Mereka lagi apa, ya?"

"Nggak tahu."

"Mahi suka apa?"

Aku diam, memikirkan apa yang Meis maksud dengan suka. Aku suka banyak hal. Aku suka kasurku, suka mobil-mobilanku, suka selimutku, suka papaku, dan lainnya.

"Suka yang apa?"

"Meis suka gambar, Mahi suka apa?"

Aku masih belum bisa menangkap apa yang Meis tanyakan waktu itu. Menurutku, semua orang punya kesukaan masing-masing. Mama bilang aku pintar mewarnai, tapi aku merasa nggak begitu. Ada yang lebih bagus melakukannya. Meis yang paling bagus. Aku nggak tahu apa yang Meis tanyakan, jadi aku menggeleng saja.

30 Days Make Me Feel Your LoveWhere stories live. Discover now