Day 7. Alasan Sakit

12.3K 2.3K 117
                                    

Sebenarnya aku nggak apa-apa. Meis nggak perlu merasa bersalah sampai jadi bawa perasaan begitu! Aku merasa santai, kok! Lagi pula... ini hanya keseleo ringan, dan akan sembuh dalam beberapa hari. Itu juga kalau aku nggak pecicilan dulu. Memangnya aku pernah begitu? Nggak pernah. Aku pendiam dan ogah bergerak. Tapi Meis lupa diri karena dia merasa bertanggung jawab. Dia jadi agak berlebihan.

"Mahi... lagi apa?" Meis bertanya cepat. Dia meneleponku malam-malam hanya untuk mencari tahu kondisiku yang terbaru.

"Lagi tidur." Aku menjawab nggak acuh.

"Lukanya gimana?"

"Nggak luka, Meis. Cuma keseleo. Udah agak mendingan, kok!" Aku mencoba untuk nggak membuatnya makin cemas. Meis terlalu berlebihan, dan aku kurang nyaman dengan orang yang seperti itu!

Untung saja dia temanku.

"Mulai sekarang aku akan jagain kamu, Mahi! Kamu nggak boleh ceroboh lagi! Aku juga bakalan nyeberang jalan dengan tertib. Toleh kanan dan kiri..."

Aku menelan ludah gugup. Meis masih membuatku pusing sekarang ini. Dia nggak sadar kalau sudah membuatku kelimpungan hanya gara-gara rasa cemasnya yang nggak normal itu. Meis ingin menjagaku, jadi aku harus mendengarkan dan menerimanya dengan sangat senang.

"Iya... Iya..."

"Jangan jalan-jalan terus, Mahi! Istirahat yang cukup, biar keseleonya cepet sembuh."

Aku terpaksa diam karena ogah ribut. Aku nggak terlalu suka berdebat dan berbuntut panjang, karena itulah lebih baik aku membisu saja. Aku lebih senang diam dan nggak mencari masalah dengannya.

"Besok kamu sekolah?"

"Iya, sekolah."

"Berangkat sama siapa?"

"Dianterin..."

"Sama?"

"Tukang ojek!"

Meis memekik seketika. Aku menjauhkan HP dari telingaku hanya gara-gara teriakannya yang membahana itu. Aku mengembuskan napas gusar, lalu mencoba menghentikan teriakannya.

"Ada apaan lagi, sih?" tanyaku gemas. Meis mengembuskan napas gusar di sana.

"Jangan naik ojek! Apalagi kalau pagi, mereka sukanya kebut-kebutan! Alasannya mau menghindari kemacetan, tapi kadang mereka naiknya brutal!" Meis menjerit nggak terima. Aku masih bertahan dengan teriakannya yang super itu.

"Trus aku harus apa? Naik angkot juga ngerepotin, tahu! Kakiku masih pincang. Kalau naik angkot, ntar diinjak orang gimana?"

"Jangan naik angkot juga!" Meis masih menjerit protes.

"Trus? Jangan bilang kalau kamu ngelarang aku buat sekolah!"

"Ya nggak gitu juga! Sekolah kan penting. Takutnya ada tugas atau ulangan gitu, kan?" Meis masih merepet nggak jelas. Aku mencoba sabar mendengarkan protesnya. Aku bukan tipe orang yang bisa menghindari hal-hal seperti ini. Aku masih tenang dan mendengarkan.

"Trus gimana?" Aku balik bertanya.

"Biar aku minta Kak Mias buat jemput kamu!"

"Hah?!"

Dan telepon terputus dengan dramatis. Aku melongo. Dalam beberapa detik aku hanya bengong karena nggak percaya ini terjadi padaku secara nyata. Ini sungguhan! Meis menyuruhku nebeng mobil kakaknya! Menjemputku! Dan itu artinya Kak Mias harus berangkat lebih pagi untuk menjemputku?

Padahal jarak rumah Meis dan rumahku berseberangan. Sekolah ada di tengah-tengah. Untuk apa menjemputku? Kan itu namanya bolak-balik?

Karena merasa bersalah dan juga takut merepotkan, akhirnya aku menelepon Meis balik. Meis nggak mengangkat teleponnya. Dalam beberapa segi, Meis termasuk orang yang sangat peka dengan keadaan. Dia tahu mungkin kalau aku akan menolak, jadi dia sengaja nggak mengangkat teleponku. Tapi aku nggak patah semangat.

30 Days Make Me Feel Your LoveWhere stories live. Discover now