Day 6. Tragedi Bersama Meis

12.7K 2.3K 211
                                    

Aku nggak bisa tidur semalaman. Meis tanggap dengan keadaanku, lalu menepuk kedua pipiku. Dia menatapku serius, lalu mulai bermain-main dengan wajahku. Dia memang kurang kerjaan! Aku lelah dengan tingkahnya yang sok imut itu! Padahal dia cowok, dan dia memang cowok! Tapi meski lelah, aku nggak pernah bosan berteman dengan Meis. Aku hanya malas bertemu dengan kakaknya.

“Semalem Tante bingung nanyain aku?” Aku mencoba untuk bertanya pada Meis, meskipun aku sungkan untuk bertanya itu. Nggak enak juga, takutnya Meis mengira yang nggak-nggak.

“Nggak, tuh! Kan semalem Bunda dan mama kamu teleponan, Mahi. Mereka cekikikan terus.”

“Trus...” Aku menggantung ucapanku. “Kok bisa Kak Mias telepon aku?”

Meis melongo. Dia mengguncang lenganku sok dramatis. Dia ngakak setelahnya. Dia sudah mulai senang berkunjung ke kelasku ketika jam istirahat tiba.

“Dia telepon?”

Aku mengangguk. “Kamu yang beritahu nomerku?”

Meis menggeleng kencang. “Nggak. Kakak kan nggak nanya ke aku sama sekali. Mungkin dia lihat sendiri di HP-ku pas aku ke kamar mandi.”

Aku nggak ingin menebak lagi. Aku sudah nggak peduli apa yang Kak Mias inginkan dengan meneleponku. Untuk apa? Kalau untuk bertanya aku sudah sampai atau belum, mungkin nggak perlu telepon. Kalau ada apa-apa kan mamaku pasti telepon bundanya.

“Emang ada apa, Mahi? Kak Mias telepon kamu? Nanya apaan?”

“Nggak ada, cuma nanya aku udah sampe apa belum.” Aku menjawab datar. Terpaksa. Sudahlah, nggak perlu lagi berpikiran yang macam-macam sekarang ini.

Aku dan Meis punya agenda penting hari ini. Kami ingin mampir sebentar ke games center untuk update games yang terbaru. Meski kami masih belum punya dana untuk membelinya, tapi melihat saja kan nggak rugi. Lagi pula aku juga butuh jalan-jalan setelah sekian lama nggak berkunjung ke kota ini.

Ini pertama kalinya aku butuh refreshing. Padahal biasanya aku paling malas keluar. Mungkin ini efek lelah dan juga bosan, makanya aku bisa mau-mau saja diajak keluyuran oleh Meis.

“Kamu nggak izin kakakmu?” tanyaku cepat. Meis mengangguk.

“Udah. Kak Mias ada kuliah, jadi aku disuruh balik sendiri.”

Aku mengangguk puas. Akhirnya... akhirnya nggak ada lagi Kak Mias di antara kita, Meis! Aku nggak tahan untuk tersenyum. Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Meis sudah stand by di depan kelasku. Dia tersenyum dan melambai, lalu menarikku pergi.

Aku mengikuti langkah kaki Meis. Dia sudah kelewat semangat, menarikku agar segera sampai di halte. Kami harus naik bis. Nanti Kak Mias yang menjemput, itu kata Meis.

Aku pasrah karena bingung mencari alasan untuk menghindar. Meis menarikku dengan langkah cepat. Aku pasrah mengikutinya, hingga sesuatu terjadi tiba-tiba. Karena kecerobohan Meis, sebuah motor yang melaju kencang hampir menabrak kami. Pengendaranya berhasil menghindar, tapi aku dan Meis masih kena juga.

Kami mengalami kecelakaan. Meis terjatuh dan meringis, sementara aku sudah terserempet karena motor itu melaju dari belakangku. Meis menjerit. Dia terjerembab di jalan raya dan lecet-lecet. Sementara aku juga mengalami kejadian yang sama, hanya saja lebih parah.

Kakiku ngilu dan nyeri dalam waktu yang bersamaan. Rasanya sakit luar bisa. Mungkin aku keseleo. Meis mengerjap beberapa kali, lalu air matanya menetes. Aku melongo.

“Jangan nangis! Jangan nangis!” ucapku panik. Meis mati-matian menahan air matanya, lalu menggeleng kencang.

Beberapa orang mulai mengelilingi kami. Mereka mencoba membantu kami sebisa mungkin. Pengendara motor yang menyerempet kami mencoba bertanggung jawab dengan ikut ke klinik terdekat. Aku nggak terlalu luka parah, jadi nggak perlu ke rumah sakit besar begitu!

30 Days Make Me Feel Your LoveWhere stories live. Discover now