Bagian 1 - Mendungnya Langit Arin

188 10 0
                                    

"Ada kalanya semesta menjatuhkanmu ke dasar bumi, ketika hidupmu mulai mencapai langit."

•••

Arinda menatap kosong ke arah lautan di depannya. Pemandangan didepannya tak begitu jelas dan pikirannya seketika membawanya kembali ke masa-masa terbaik sekaligus terberat dalam hidupnya. Ia memiliki hidup yang bisa dibilang sempurna. Ia bahkan tidak begitu ingat awal mula benang kusut dalam kehidupannya mulai terjadi. Ia selalu mencoba berusaha merapikan benang itu hingga akhirnya merasa terjerat juga. Ia sudah lelah berusaha, bertahan, dan mempercayai harapan yang mungkin tidak pernah ada.

Mungkin Tuhan juga sudah lelah mendengar keluhannya. Atau mungkin juga Tuhan sudah lama meminta Arin untuk menyerah, hanya saja ia terlalu keras kepala untuk terus menjalani hidup yang sama sekali bukan hidup ini. Ia menghela nafas panjang, dadanya kembali sesak. Ia sudah mengumpulkan segala tekad dan keberaniannya selama ini. Sekarang, ia hanya ingin rasa sakitnya berhenti.

Arin bangkit dari duduknya dan melepaskan sendal yang ia kenakan. Dengan perlahan, ia berjalan menuju lautan luas di hadapannya itu. Langkah demi langkah, ia bergerak maju bahkan tak peduli angin yang semakin kencang sekalipun. Air laut mulai mengenai kakinya. Lalu, naik ke arah lutut san kemudian pinggangnya.

Kemudian, satu tangannya dipegang tiba-tiba dan di saat yang sama pula ombak menerja mereka berdua. Arin bisa merasakan tangannya di genggam begitu erat oleh seseorang. Sementara dirinya merasakan air mulai masuk ke dalam paru-paru. Ia tidak mahir menahan nafas di air dan hanya bisa membiarkan semesta memperlakukannya sesuka hati.

Arin terbatuk-batuk ketika mereka berdua sudah berhasil sampai di tepi pantai.

"Lo udah gila ya?!" sebuah suara membentak dirinya begitu kencang.

Arin menatap seseorang yang tengah menatapnya dengan pandangan marah itu. Hanya saja, disini ia merasa bahwa seharusnya dirinya yang marah. Ia bahkan menunjukkan dengan jelas bahwa dirinya marah. Ia benci orang yang suka ikut campur dalam masalah hidupnya, bersikap seolah peduli, dan sok jadi pahlawan. Ia yang malas menghadapi manusia seperti itu memilih langsung melengos pergi meninggalkan lelaki itu.

***

Devano celingak-celinguk mencari sosok gadis yang ia temui semalam saat tengah berada di restoran tempat ia menginap. Ia hanya ingin memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Saat ia tengah meletakkan piringnya di salah satu meja yang berada di sudut ruangan, saat itu pula ia menangkap sosok gadis itu. Dengan gerakan cepat, ia berlari menuju gadis yang tengah berjalan keluar dari area restoran itu.

"Hai," sapa Devano, kikuk. Ia tidak tahu kata apa yang tepat untuk diucapkan selain, sapaan untuk gadis itu.

Gadis itu hanya menatap Devano dengan pandangan yang tidak lelaki itu mengerti artinya.

Devano dengan penuh percaya diri mengulurkan tangannya di hadapan gadis itu dan tersenyum cerah, "Gue Devano."

Gadis itu tak menanggapi ucapan Devano dan berkata, "Denger ya, jangan suka ikut campur urusan orang. Nggak semua orang berterimakasih atas hal yang udah lo lakuin. Nggak semua orang berharap lo selametin hidupnya."

Gadis itu pergi meninggalkan Devano dengan tangannya yang masih di udara.

•••

Devano sudah kembali menuju kamar hotelnya dan mulai membereskan barang-barangnya sebelum check out pukul 12.00 WIB nanti. Ucapan gadis itu kembali terngiang dikepalanya. Tiba-tiba saja, di luar kehendaknya, dikepalanya kembali terputar kejadian tiga tahun lalu.

Devano berlari cepat menuju gedung sekolah itu dan menyusuri setiap tempat yang ada di sana. Hatinya tak berhenti khawatir dan gelisah setelah mendapatkan pesan dari adiknya yang menyiratkan adiknya akan melakukan tindakan diluar nalar. Meskipun, sepanjang perjalanan menuju sekolah, ia terus berdoa agar hal buruk dikepalanya tidak benar. Itu hanya sebuah firasat tak beralasan karena ia yakin adiknya tidak akan melakukan hal seperti itu. Ia yakin ia mengenal baik adik kecilnya itu.

Devano mengatur nafasnya setelah berlari mengelilingi seluruh tempat di sekolah itu. Sekolah itu sudah benar-benar sepi, tidak ada satupun orang yang tersisa disana dan suasana begitu hening. Matahari sudah semakin terbenam dan langit mulai menggelap. Sesaat kemudian, pandangan mata lelaki itu menangkap sosok yang tengah berdiri di rooftop sekolah. Sosok itu sepertinya tidak menyadari kehadirannya.

Ucapan Devano sudah diujung lidah untuk diteriakkan dan pada saat yang sama pula sosok itu jatuh tepat didepan matanya. Ia langsung memekik dan tubuhnya ikut terjatuh ke tanah ketika menatap adiknya sudah berlumuran darah dengan mata terbuka. Ia berteriak sekencang mungkin dan air mata mulai membasahi wajahnya. Ia tidak berani mendekat dan sekujur tubuhnya gemetar melihat pemandangan itu.

Adik kecilnya yang selalu ceria dan penuh semangat itu tiba-tiba sudah terkapar tak bernyawa dihadapannya. Devano bukan hanya kehilangan adiknya, tetapi juga kehilangan dirinya.

Devano berusaha menjernihkan pikirannya. Ia memilih untuk beranjak menuju dapur dan mengambil segelas air dari kulkas. Ia meneguk cepat minuman itu. Ia merogoh saku celananya dan mengambil ponsel untuk membuka galeri di handphonenya.

Foto seorang gadis cantik berseragam sekolah itu tengah berdiri disampingnya, berada dalam rangkulannya.

Hai, Din! Apa kabar? Pasti kamu udah baik-baik aja sekarang. Oh iya, semalem Abang ketemu seseorang yang ngingetin Abang sama kamu. Dia cantik kayak kamu, tapi bedanya dia nggak seceria kamu.

Din, Abang takut. Dia mau ngelakuin hal yang mau kamu lakuin juga. Tapi Abang berhasil selametin dan dia marah.

Din, emangnya hal yang udah Abang lakuin itu, salah ya? Apa kamu juga berharap nggak ada orang yang selametin kamu?

Din, maafin Abang yang nggak bisa bikin kamu bahagia dan bertahan di dunia ini. Abang kangen banget sama kamu. Abang harap kamu bahagia di tempat yang baru itu. Abang yakin, Din.

Devano seperti orang gila jika tengah menatap foto adiknya. Ia bisa berbicara sendiri, menangis, tertawa, atau bahkan seperti orang kesetanan. Kehilangan adiknya menimbulkan trauma yang cukup mendalam baginya. Butuh waktu tiga tahun untuk berdamai dengan kejadian itu. Meskipun, sebenarnya ia juga belum sepenuhnya pulih dari gangguan stress pasca trauma itu.

Tetapi entah apa maksud semesta mempertemukannya dengan gadis itu. Apakah ia tengah diberi kesempatan untuk melakukan hal yang tak sempat ia lakukan pada adiknya? Atau semesta tengah memberi jawaban atas banyak pertanyaan yang selama tiga tahun terakhir selalu berlalu lalang di kepalanya?

Hal yang paling jelas saat ini adalah Devano ingin bertemu lagi dengan gadis itu. Ia ingin memastikan gadis itu baik-baik saja. Ia bahkan bersedia mempertaruhkan apapun dalam hidupnya untuk membuat gadis itu tetap ada di dunia ini.

***

Selamat membaca!🤎

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 27, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ArindaWhere stories live. Discover now