Chapter 1

31.4K 1.2K 13
                                    

Makan malam kali ini terasa begitu berbeda. Biasanya di meja makan kami hanya ada aku dan Angga berbagi cerita tentang apa yang kami lalui seharian tadi. Lebih tepatnya, apa yang Angga lalui, karena setelah aku memiliki Nadia, putri kecil kami yang masih berusia setahun, aku memutuskan untuk tidak lagi bekerja. Aku ingin mengurus sendiri Nadia, melihat tiap tahap perkembangannya, aku tak mau sedikit pun melewati masa-masa emas pertumbuhannya dan Angga setuju atas keputusanku. Malam ini, Ibu mertuaku datang ke rumah kami, tidak biasanya memang. Biasanya kami yang mengunjunginya, tapi sesekali beliau akan datang ke rumah kami.

“Ngga, kemarin Mami kan arisan di Kemang, itu lho di cabang restoran baru punya Tante Ami. Eh, Mami ketemu Nevita sama Mamanya lagi makan juga di sana.” cerita Mami memecah kebisuan kami di meja makan.

“Oh, ya? Wah, apa kabar dia?” tanya Angga.

“Tambah cantik, lho dia. Langsing, dan dandanannya itu kelihatan kalau dia wanita berkelas.” ujar Mami sambil melirik tajam ke arahku.

Memang setelah melahirkan Nadia, aku masih belum bisa mengembalikan berat badannku seperti semula. Masih ada 10 kilo lemak menumpuk di sana-sini. Aku pun bukan tipe wanita yang senang berdandan heboh, paling hanya bedak tipis dan lipstik bila perlu, jika tidak ya hanya begitu saja.

“Dari dulu SMA kan memang Vita udah hobi dandan Mam..”

“Iya tapi sekarang lebih cantik, Ngga. Kayaknya dia pakai skincare yang dari Korea gitu deh. Soalnya kulitnya tuh flawless banget, nanti Mami mau tanya ah dia pakai apa, biar muka Mami bisa cantik kayak dia.”

“Mami udah cantik, kok.” kataku.

“Tau apa kamu soal cantik, Ran? Ngurus diri aja gak becus. Ngurus rumah, anak, suami pun apalagi. Gak usah komentar kalau kamu gak tau apa-apa” semprot Mami.

“Tapi Mam, Rani kan cuma bilang kalau Mami udah cantik. Itu kan pujian, Mam. Makanya Mami ajarin Rani dandan dong biar cantik terus kayak Mami.” kata Angga membelaku.

“Aduh Angga.. Kamu ini, gimana istri gak mau besar kepala? Apa-apa dibela, lama-lama makin gak becus dia jadi istri. Ah, iya, kamu tau kan Ran siapa Nevita?”

Aku menggeleng pelan.

“Nevita itu mantan pacar Angga waktu SMA, mereka sempat pacaran lama, bisa dibilang cinta pertama Angga lah”

Aku memang tidak pernah bertanya pada Angga tentang siapa saja yang pernah mengisi hatinya, bagiku tidak penting selama saat ini di hatinya hanya ada aku. Aku hanya menatap Angga sekilas, tersenyum dan melanjutkan memotong rolade daging di piringku.

“Cuma enam bulan, Mam. Itu juga udah lama banget, Angga malah hampir lupa kalau Mami gak ingetin.”

“Nevita sekarang jadi dokter gigi lho, Ngga. Udah pintar, cantik, dokter pula. Aduuuh Mami pasti bangga banget kalau punya menantu seperti dia. Mami gak malu kayak sekarang kalau mau ngenalin ke teman-teman Mami.”

Aku terdiam menahan air mataku yang mulai menggenangi kedua belah mataku.

“Maaf ya Mam, kalau Rani belum bisa menjadi menantu yang baik menurut Mami.” kataku pelan.

“Tapi biar bagaimana pun kamu usaha Ran, jelas kalah jauh lah kamu sama Vita. Dia dokter, kamu pengangguran”

“Maaam, dulu kan Rani juga bekerja sebelum melahirkan Nadia” Angga berusaha membelaku, tapi sia-sia. Aku tetap saja buruk di mata Mami.

“Duuuh… Angga!! Rani kan dulu cuma karyawan biasa, ya beda lah kelasnya sama dokter. Jelas lebih hebat Vita kemana-mana. Apalagi sekarang, istri sama pembantu gak bisa dibedakan. Mami maluuu Nggaaaa”.

Aku tersentak. Aku tak bisa lagi menahan air mataku. Luluh lantak rasanya hatiku mendengar Mami begitu tidak menyukai aku.

“Aaahh.. Ngapain kamu nangis Ran? Biar dikira Mami itu mertua kejam? Gak perlu lah keluar air mata buaya begitu. Haah...hilang sudah nafsu makan Mami.” sentak Mami sambil membanting serbet makannya ke atas piringnya. “Angga, anterin Mami pulang. Heran kalau ketemu Si Rani kok ada aja masalahnya. Ambilin sepatu Mami Ran!! Cepetan!!”

Aku mengambil sepatu putih kesayangan Mami setengah berlari. Aku tak mau Mami lebih marah lagi.

“Oh, iya Ran. Besok siang, Angga mau Mami ajak pergi makan siang. Mami mau ketemu Tante Santi, Mamanya Vita.”

“Maam.. kan besok Angga sama Rani mau ke rumah orangtua Rani.” protes Angga.

“Ah.. kan Rani bisa pakai taksi. Gak usah manja deh mau ke sana aja.”

“Tapi, Maaam..”

“Angga!!! Berani kamu ya sekarang ngelawan Mami!! Mami gak mau tau pokoknya besok kamu HARUS temani Mami. TITIK. Udah ambil kunci mobilmu cepat. Mami mau pulang.!”

Aku lagi-lagi hanya bisa menatap Angga yang aku tahu sedang berusaha menahan emosinya. Angga tak pernah bisa menolak permintaan Mami karena bagi Angga kebahagian Mami adalah segalanya. Tapi di sini, ada hati yang juga tercabik atas tiap hujaman kata yang Mami katakan. Ya, hatiku. Hati istrinya.

Mobil perlahan bergerak menjauhi rumah kami. Aku masih terisak di depan pintu rumah, hingga akhirnya aku mendengar suara tangis Nadia yang tadi tertidur. Kuhapus air mataku, aku tak mau Nadia melihat kesedihanku. Nadia terlalu berharga untuk mengenal luka.

ForgivenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang