Putri mengangguk, "Iya nih, ayo Shena naik cepetan."

Buru-buru Shena menaiki kursi belakang sepeda milik Putri itu sambil terus menggenggam minuman gelas dan jajan miliknya.

"Hati-hati!" teriak Angga, karena Putri langsung mengayuh sepedanya dengan cepat. Membuat tas Shena terjatuh ke tanah dan ditinggalkannya begitu saja.

Dengan berat hati, Angga membawakan tas Shena di punggungnya.

"Dasar!"

Sengaja Putri melajukan sepedanya dengan sangat kencang. Di belakang punggungnya, Shena berteriak kegirangan. Kedua anak kecil itu hanya merasa senang karena ini merupakan pengalaman pertama mereka menaiki sepeda sekencang ini. Membuat semua rambut Shena tidak beraturan diterpa angin yang kencang.

Tibalah mereka berenam di pertigaan jalan.

Anak kecil yang belum tahu rambu-rambu lalu lintas itu langsung saja menerobos lampu merah dan berbelok ke arah kanan. Untungnya tidak ada motor dari arah kiri, tetapi tiba-tiba saja ada satu sepeda motor yang terlalu terkejut akan kedatangan sepeda Putri yang mendadak sehingga tidak sempat mengerem pedal.

"AAAKK!"

Alhasil Putri dan Shena terjatuh ke aspal yang kasar.

Shena menangis. Pergelangan tangannya luka dan terasa sangat perih.

Angga terkesiap, "CENAAA!!!"

Anak laki-laki itu melompat dari boncengan Riky dan berlari menemui Shena. Angga dibantu warga yang memang ada di sekitar trotoar jalan untuk mengangkat tubuh kecil Shena dan menenangkan gadis kecil yang ketakutan itu.

"Kita harusnya gak berangkat ke sana, lihat kan, jadinya kamu jatuh!" sergap Angga.

Putri juga menangis, tetapi dia tidak terluka cukup parah seperti Shena.

Angga kecil melirik Putri sengit, "Makanya naik sepeda jangan ngebut! Tadi 'kan udah dibilangin hati-hati. Gimana ini sahabat aku jadi jatuh dan berdarah!"

Melihat keadaan Shena yang cukup parah, Putri jadi merasa bersalah. Ia langsung menangis lebih keras dan meminta maaf pada Shena. Ia mengaku juga tidak sengaja. Putri tidak tahu jika ada sepeda motor yang melaju ke arah mereka.

"Bodoh! Bu Nova sudah bilang kalau ada lampu merah tandanya berhenti, bukan malah ngebut! Sana kamu jauh-jauh dari Cena!" Angga mendorong sedikit tubuh Putri agar ia bisa berada di samping Shena dan menepuk pundak sahabatnya itu.

Dengan perlahan, Angga membersihkan tangan Shena yang berdarah. Ia meniup-niup lengan itu karena Shena merintih kesakitan. "Perih?" tanyanya.

Shena mengangguk.

Tak lama mobil hitam Papa datang. Awalnya Papa sangat kebingungan kenapa sekolah sangat sepi, tapi Angga langsung berlari begitu menjumpai sosok Papa Shena, ia mengatakan keadaan sebenarnya dan meminta Papa untuk segera membawa Shena ke rumah sakit terdekat.

Singkatnya, tulang lengan Shena didiagnosis sedikit bergeser dari tempatnya. Maka dari itu, Dokter menyarankan Shena tidak banyak bergerak dan tidak pergi ke sekolah terlebih dahulu.

"Baik terimakasih Dokter," Papa menyalami tangan Dokter Hilman yang menangani putrinya. Ia lalu meminta Angga menemani Shena karena ia harus mengurus administrasi terlebih dahulu.

Angga melirik ke arah lengan Shena yang di-gips. "Sakit, nggak?"

"Iya."

"Rasain."

Shena menjulurkan lidah, "Tapi kamu ga bisa samaan sama aku. Sekarang tangan aku ada ininya tau," Shena menunjuk penyangga tangan tersebut. "Biasanya kita selalu samaan, sekarang nggak."

Mendengar ucapan itu, Angga tertawa, "Ya, nanti aku buat sendiri."

Ternyata ucapan Angga tidak main-main. Sekembalinya ia menjenguk Shena esok harinya, Angga benar-benar membuat penyangga tulang untuk tangan kirinya menggunakan botol plastik yang ia buat sedemikian rupa miripnya dengan milik Shena.

Pada akhirnya, kedua sahabat itu mengenakan alat penyangga tangan masing-masing.

Shena tersenyum, begitupun Angga.

***

[Picts from Pin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

[Picts from Pin. All rights reserved]

I Am PlutoWhere stories live. Discover now