Chapter 1

357 206 436
                                    

Chapter I

30 Januari 2005

Hujan telah usai.

Di perumahan ini tidak ada satupun anak kecil yang menyukai hujan. Apalagi aroma tanah yang baru saja basah diguyur air mata dari sang langit. Bagi anak-anak seumuran mereka, bermain adalah salah satu cara paling menyenangkan untuk menghabiskan waktu. Apalagi dengan dibangunnya sebuah taman kecil di tengah komplek perumahan Graha Mentari Bandung.

Ada banyak sekali wahana permainan sederhana, salah satunya perosotan, kolam mandi bola, jungkat-jungkit, dan permainan lain yang memang sengaja disediakan untuk anak kecil. Pada hari Minggu seperti sekarang, tentunya taman bermain itu sangat ramai sejak Shubuh. Para orang tua berlomba-lomba datang lebih awal seusai berolah raga agar anak-anak mereka bisa menggunakan permainan sedikit lebih cepat dibanding anak-anak lain.

Hampir semua warga perumahan selalu menyempatkan untuk berkumpul sekadar berbincang-bincang untuk menjalin tali silaturahmi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi ketika dua anak kecil itu datang bergandengan tangan sembari mengenakan sepatu berwarna biru dan merah muda memasuki area taman bermain.

Erlangga Nicholas Saputra dan Shenina Taslim.

Dua bocah mungil itu terus berjalan sembari menari sesekali mengitari sepeda kayuh yang terparkir berjejer di trotoar jalan.

"Aku mau main itu dulu," ujar si kecil Shena. Putri kecil dengan senyum manis itu mengajak Angga kecil mendekati permainan jungkat-jungkit yang masih digunakan oleh anak lain. Mereka kemudian duduk diam sembari menunggu giliran.

Angga menyetujui.

Selang beberapa menit kemudian, Shena sudah bersiap menaiki permainan tetapi tiba-tiba saja anak lelaki yang lebih besar badannya mendorong Shena ke belakang membuatnya terjatuh ke rumput yang masih sedikit basah akibat hujan yang baru saja turun.

"Aduh!" jeritnya.

Di seberang, Angga kecil menggeram, kesal.

Ia mendatangi Shena dan membantu sahabatnya itu berdiri.

Kemudian Angga menatap anak laki-laki yang sedang asyik menaiki permainan jungkat-jungkit tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Hei! Nakal! Jangan begitu lagi, bahaya tahu?!"

"Apasih!" lengan Angga ditepis olehnya.

Di belakang punggung Angga, Shena menangis karena tangannya yang terluka akibat kerikil dan batu-batu kecil yang tajam. Melihat itu semakin membuat sahabatnya naik pitam. Dengan sengaja Angga kecil mendorong anak laki-laki nakal di hadapannya sehingga tubuhnya terjatuh dan menghantam rumput taman. Anak laki-laki itu menangis, sangat kencang hingga puluhan pasang mata kini menatap ke arah mereka.

Keributan kecil itu akhirnya mendatangkan satpam komplek.

Lelaki jangkung paruh baya dengan seragam putih akhirnya melerai pertikaian ketiganya. Pertama, bapak itu membantu anak kecil yang ternyata bernama Devano itu untuk berdiri. "Devano ayo berdiri, Nak. Anak baik yaa ga boleh nakal."

"Dasar cengeng!" seru Angga.

Bapak itu kemudian menatap Angga, "Sst, tidak boleh bersikap seperti itu yaa sama teman. Ayo saling bersalaman, meminta maaf."

Dengan wajah ramah dan suara yang halus itu tak lantas membuat Angga kecil senang.

"Dia duluan yang tidak bisa menunggu. Dia mendorong Cena. Lihat, tangannya berdarah!"

Shena kecil semakin bersembunyi di balik punggung Angga.

Bapak kemudian meraih tangan kecil Shena dan memberinya kain untuk menghapus jejak darah yang sedikit serta sisa-sisa tanah yang mengotorinya. Setelah itu, Bapak itu membawa ketiganya duduk dan berbincang sedikit. Menceritakan kisah kancil dan buaya yang semula bermusuhan namun akhirnya saling berteman. Angga, Devano, dan Shena mendengarkan dengan seksama cerita itu. Seakan terhipnotis oleh narasi yang dilontarkan dengan anggun.

I Am PlutoWhere stories live. Discover now