"Arkeolog," ulang Indra. "Kayak, buat menemukan fosil dan lainnya. Jadi, nanti aku kubur tulangnya, dan kamu harus cari. Nanti seolah-olah kayak kamu menemukan tulang belulang fosil manusia purba. Abis itu gantian, deh."

Gita manggut-manggut. "Yah, nggak apa-apa, lah. Kita bisa main kejar-kejaran sama Muffin aja. Gimana?"

Indra mengangkat kedua tangannya ke udara. "Boleh mengaku kalah sebelum dimulai, nggak?"

Jakarta,

saat ini


Kepalaku pusing. Bukan secara harfiah, tentu saja. Hanya saja, terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku sampai-sampai rasanya jika aku menuliskan semuanya pada kertas, aku bisa membuat sebuah novel. Tidak se-berlebihan itu juga, sih. Tapi, kamu mengerti, bukan?

Aku dan Elang sudah keluar dari toko buku bekas yang kami kunjungi tadi. Sebagai gantinya, cowok itu mengajakku untuk duduk di salah satu bangku yang tersebar di penjuru mall ini. Dia tidak berkata apa-apa sejak tadi, dan aku sangat menghargainya karena aku juga tidak tahu harus merespon apa.

Sementara Elang terus menyeruput minuman Coffee Bean-nya yang tidak kunjung habis, aku duduk di sebelahnya dengan canggung sambil terus memutar otak. Sayangnya, otakku ini memang sudah buntu akibat terlalu sering memikirkan tugas dan ujian yang datang bagaikan banjir bandang.

Juan juga belum membalas pesanku. Kemungkinan terbesar adalah, film yang dia tonton belum selesai. Tapi, bisa juga dia memang kesal padaku, sehingga enggan membalas pesan dariku. Biasanya, meskipun berada dalam bioskop, Juan terkadang mengintip-intip ponselnya kalau dia mendapat notifikasi. Sifatnya yang agak sulit untuk fokus melakukan satu hal adalah salah satu kekurangan terbesarnya.

"Gue merasa agak familiar sama model di gambar itu," ucapku pada akhirnya. Kurasakan Elang menghentikan kegiatan minumnya, tapi aku tidak mau melihat reaksi apapun yang akan dia tunjukkan, sehingga aku terus menatap lurus ke depan.

Elang berdeham. Cowok itu memajukan duduknya untuk menumpukan kedua sikunya pada pahanya, dan kepalanya dimiringkan untuk mengintip wajahku yang pasti sekaku patung. "Siapa modelnya?"

"Indra," jawabku tanpa ragu. Aku menoleh ke arah Elang, dan aku nyaris ikut kaget ketika dia terlonjak di duduknya setelah mendengar jawabanku. Seolah-olah aku baru saja menyebutkan nama Voldemort.

"Kalau soal Indra, lo inget?" tanya Elang begitu dia sudah mulai tenang. Ekspresinya yang awalnya nyaris tak terkontrol, kini sudah berubah menjadi ekspresi serius yang membuatku ingin membenamkan diriku sendiri ke rawa-rawa.

"Nggak," sahutku lagi. "Gue nggak inget apa-apa. Tapi, lo inget waktu lo nabrak orang waktu itu — Bimo namanya, kalau nggak salah?"

Elang mengerucutkan bibirnya sejenak untuk berpikir. "Ya. Yang diurus sama sepupu lo itu, 'kan? Nama pasiennya Bima, by the way."

"Beda dikit," kilahku.

"Nggak boleh ganti-ganti nama orang."

Aku mendengus. "Iya, deh."

Elang menyengir samar. "Oke. Jadi? Apa hubungannya?"

"Waktu kita di kantin rumah sakit itu, lo inget kalau gue bilang mau nyamperin seseorang sebentar?"

Elang mengangkat salah satu tangannya untuk menghentikanku. Aku pun segera bungkam, sementara cowok itu menatapku dengan sorot mata yang tak dapat aku artikan. "Oke. Stop di situ. Gue ngerti. Di situ, lo ketemu Indra? Tapi, kenapa lo nyamperin dia kalau lo nggak tahu dia siapa?"

"Gue merasa dia familiar banget."

"Cuma itu?"

Aku mengedikkan bahu. "Lupa."

"Aish," gerutu Elang. Lalu, cowok itu pun kembali menyeruput minumannya banyak-banyak. Dia terlihat tengah memikirkan beberapa hal, sehingga aku kembali terdiam sambil memperhatikan sekelilingku.

Beberapa orang berjalan di hadapanku. Tiap orang memiliki cara berpakaian yang berbeda, parfum yang berbeda, dan ekspresi yang berbeda. Aku langsung mengenali ekspresi-ekspresi itu dan menyamakannya dengan wajah yang sering orang-orang terdekatku tampilkan. Misalnya Juan, yang matanya selalu berbinar seolah-olah ingin terus-terusan tertawa. Lalu Papa, yang alisnya sering berkerut kalau memikirkan sesuatu yang serius.

Atau Gibran, yang memiliki senyum ramah dan hangat yang selalu terpasang dengan rapi di bibirnya.

Apa kabar ya, cowok itu?

Aku melempar pandanganku lebih jauh lagi, menatap etalase-etalase toko-toko baju yang berjejer di seberangku. Punggungku langsung menegak ketika melihat orang yang baru saja aku dan Elang bicarakan, tengah berjalan di depan sebuah toko sepatu.

Indra. Apa yang dia lakukan di sini? Sendirian, pula.

Sontak saja, muncul dua pilihan yang harus segera aku pilih. Satu, meminta izin pada Elang untuk pergi sejenak menemui teman lama. Dua, tetap duduk di sini sambil mencari topik seru yang bisa dibicarakan. Kedua pilihan itu sama-sama sulit, karena intinya adalah, aku harus memulai pembicaraan.

Begitu aku baru saja akan menimbang-nimbang, Elang sudah menyerobotku. "Prakarya Kimia satu kelompok sama siapa?"

Yah, kalau begini, aku harus memilih pilihan kedua, yakni tetap duduk di sini. Aku sedikit lega karena Elang-lah yang berinisiatif mencari topik, karena seperti yang sudah aku bilang tadi, otakku ini dipenuhi oleh jalan buntu.

"Belum tahu," jawabku.

"Mau sama gue, nggak? Sama Rizky juga," tawar Elang. Aku dapat melihat sekelebat rasa ragu di dalam matanya. Namun, cowok itu berhasil menyamarkannya dengan sikap percaya dirinya yang memang patut aku acungi jempol. Sebagai anggota Paskibra yang biasa ditunjuk sebagai pemimpin upacara, sikap percaya diri adalah yang terpenting.

Dalam pelajaran Prakarya Kimia, kami ditugaskan membuat satu kelompok yang berisi empat orang. Nanti, kami boleh memilih ingin membuat apa. Aku sudah tahu kalau aku akan sekelompok dengan Rani, tapi aku belum tahu kedua anggota lainnya. Apalagi, Rani betul-betul ingin membuat parfum, dan aku tidak tahu apakah Elang dan Rizky bisa berkompromi.

Aku pun memilih jawaban netral. "Nanti gue tanya Rania."

"Oke," sahut Elang. Cowok itu tersenyum, dan hal itu agak kurang sehat bagi jantung. Bukannya aku menyukainya atau apa, tapi senyumannya itu benar-benar manis. Ini adalah sebuah pendapat objektif, karena memang kenyataannya begitu. Aku bisa membuat kuesioner soal ini, kalau kamu perlu bukti.

Tunggu. Apa sih, yang baru aku katakan?

Tidak jadi, deh. Lupakan kalau aku berkata bahwa dia itu manis.

-

Senin, 21 Agustus 2017

Indra ke-6Where stories live. Discover now