06. Kesombongan Tosu Cin-ling-pai

2K 30 0
                                    

"IBU, sabarlah, ibu ingat, kemarahan tidak baik bagi kesehatanmu."

Baru saja Yan Bu berkata demikian, Ang-jiu Toanio sudah terhuyung-huyung sambil menekan dada kirinya. Memang tadi dalam kemarahannya ia lupa akan pantangannya, maka tiba-tiba ia merasa dada kirinya sakit sekali. Cepat-cepat Yan Bu memondong ibunya dan mendudukkannya ke dalam kereta. Pemuda yang berbakti ini lalu mengurut-urut punggung ibunya sehingga keadaan Ang-jiu Toanio berangsur baik.

"Kau tanyai dia, ke mana perginya anak-anak keluarga Cia," kata nyonya itu sambil terengah-engah.

Yan Bu menghampiri pelayan ke dua yang memandang kejadian itu dengan heran. "Toapek, harap kau sudi memaafkan ibuku yang sedang marah. Kami perlu sekali mencari anak-anak keluarga Cia. Harap kau sudi memberi keterangan ke manakah gerangan perginya kongcu dan Siocia keluarga Cia."

Pelayan itu tadinya sudah nekat dan bersedia dibunuh oleh nyonya galak itu menyusul kawannya, sekarang menghadapi pemuda yang demikian berbakti dan sopan, ia menarik napas panjang. "Kawanku ini memang berkata benar. Kami mana tahu ke mana perginya kongcu dan Siocia? Mereka hanya bilang hendak turun gunung tidak kembali lagi, mereka baru tiga hari pergi bersama Siauw-ong."

Yan Bu membelalakkan matanya. "Kau maksudkan Siauw-ong itu seekor monyet kecil?"

"Betul, betul ..... bagaimana kongcu bisa tahu?"

Akan tetapi Yan Bu sudah lari kepada ibunya. "Ah, ibu. Ternyata merekalah anak-anak keluarga Cia!" serunya.

"Mereka siapa?"

"Dua orang yang kemaren dulu kita jumpai di jalan, yang membawa monyet."

Mulut Ang-jiu Toanio celangap. "Apa .....? Mereka .....??"

Ia teringat betapa wajah pemuda yang menggendong monyet itu sama benar dengan Cia Sun. Akan tetapi gadis itu .... dan cara mereka berjalan .....

"Yan Bu, ayoh kejar mereka!" katanya kemudian dan di lain saat, pemuda itu sudah mendorong kereta dan cepat berlari menghilang dari puncak, diikuti pandang mata terheran-heran oleh pelayan yang kemudian dengan sedih terpaksa merawat mayat kawannya yang terbunuh secara mengerikan. Sambil mencangkul tanah membuat kuburan, mulutnya tiada hentinya bicara seorang diri, "Keji ....! Sungguh kejam orang-orang kang-ouw yang pandai silat. Semoga kongcu dan Siocia diselamatkan dari pada kekejaman mereka ...."

****

Doa dari pelayan ini memang perlu sekali bagi Han Sin dan Bi Eng, karena memang dua orang muda ini turun gunung untuk menghadapi bahaya yang selalu mengancam keselamatan mereka. Mereka ini boleh diumpamakan dua ekor burung muda yang baru saja meninggalkan sarang, baru belajar terbang dan tidak tahu dari mana kemungkinan datangnya bahaya, belum mengenal apa-apa dan belum tahu bahwa dibalik segala keindahan yang mereka lihat bersembunyi bahaya-bahaya maut yang selalu mengintai.

Beberapa hari kemudian setelah menuruni puncak Min-san, dua orang kakak beradik ini terhalang perjalanan mereka oleh sebatang sungai yang jernih airnya. Inilah sungai Cia-leng yang mengalir ke selatan untuk kemudian menggabungkan airnya dengan sungai Yang-ce-kiang yang besar.

Karena tidak pandai berenang dan di situ amat sunyi tidak tampak sebuahpun perahu, terpaksa Han Sin dan Bi Eng lalu membuat alat penyeberang dengan batang-batang bambu yang mereka jajar-jajar dan ikat dengan akar-akar pohon. Dengan hati-hati mereka lalu menggunakan getek atau rakit istimewa ini untuk menyeberangi sungai yang tenang airnya dan jernih itu. Siauw-ong amat gembira melihat banyak ikan-ikan berenang di dekat perahu. Beberapa kali ia menyambar dengan tangannya, mengira ikan-ikan itu dekat, akan tetapi sebetulnya jauh di bawah sehingga selalu ia hanya menangkap air saja. Akhirnya Siauw-ong menjadi marah dan terjun ke air!

Kasih di Antara RemajaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora