04. Persyaratan Murid Kepada Guru

2.1K 34 0
                                    

SAMBIL menahan tawanya Bi Eng mengangguk, matanya berseri nakal. Dari belakang batu besar terdengar suara ketawa lain, suara ketawa cecowetan dari monyet kecil! Tadi ketika ada ular menyambar, monyet ini yang paling takut terhadap ular, sudah lari tunggang langgang bersembunyi di balik batu besar. Baru setelah mendengar Bi Eng tertawa, monyet ini berani muncul!

Ciu-ong Mo-kai makin penasaran. Dia, tokoh terbesar dari selatan yang dianggap raja oleh puluhan ribu pengemis, sekarang ditertawakan seenaknya oleh seorang gadis muda dan monyetnya.

"Apa-apaan kau tertawa?" bentaknya.

Sambil menahan geli hatinya, Bi Eng menjawab,

"Taisu yang baik, apakah aku mau kau hajar ........ mengemis dan minum arak?"

Ciu-ong Mo-kai membelalakkan matanya lagi dan sudah siap-siap hendak memaki marah kepada bocah yang dianggapnya kurang ajar sekali itu. Akan tetapi melihat senyum yang wajar, sinar mata yang penuh kejujuran memandang kepadanya, tahulah ia bahwa gadis itu tidak berpura-pura, melainkan bicara sejujurnya. Sebaliknya dari marah, ia lalu tertawa bergelak sambil menenggak araknya lagi dari guci arak.

Tiba-tiba ia menoleh dan mulutnya menyemburkan arak dari mulutnya. Ular belang yang tadi naik ke pohon, dan pada saat itu merayap turun lagi terkena semburan arak itu dan jatuh dengan kepala hilang karena kepala itu telah hancur terkena semburan arak!

Tentu saja Bi Eng menjadi heran dan kaget sampai mengeluarkan seruan kecil. Ciu-ong Mo-kai berpaling kepadanya. "Ha ha ha, Bi Eng anak baik, apa katamu sekarang?"

Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya yang cantik. "Taisu, aku tidak suka belajar membunuh ular. Apa sih artinya membunuh ular, apalagi kalau menggunakan arak? Melihat ularnya aku jijik, minum araknyapun tidak suka."

Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kata-kata ini menunjukkan bahwa Bi Eng memang sama sekali tidak tahu akan ilmu silat. Bagi yang mengerti akan ilmu silat, tentu saja demonstrasi membunuh ular dengan semburan arak itu sudah cukup membuktikan bahwa pengemis tua ini memang lihai sekali.

"Ha ha, bocah bodoh. Kau kira kebisaanku hanya minum arak dan membunuh ular belaka? Lihat ini?" Ia melangkah maju dan sekali kakinya terayun, batu hitam di belakangnya yang sebesar gentong dan beratnya tidak kurang dari lima ratus kati telah ditendangnya sampai terlempar sejauh lima tombak lebih! "Apa kau tidak ingin memiliki kepandaian seperti ini?"

Bi Eng membelalakkan matanya. "Untuk apa? Batu baik-baik ditempatnya kok ditendang pergi! Aku tidak mau melakukan hal itu, tiada gunanya, malah merusak taman yang indah."

Untuk sejenak Ciu-ong Mo-kai tercengang. Tak disangkanya gadis yang lincah gembira ini demikian polosnya. Kembali ia mendemonstrasikan tenaganya. Dengan telapak tangan kiri, ditamparnya batu putih sampai hancur berkeping-keping.

"Ahaiii ..... kau kuat sekali, taisu. Akan tetapi aku tidak mau menjadi tukang pukul batu."

Ciu-ong Mo-kai sampai hampir menangis saking jengkelnya. Mukanya menjadi merah dan diminumnya araknya sampai ia tersedak-sedak. "Bocah gemblung, bocah goblok! Kau berbakat baik tapi buta. Seribu orang ngimpi-ngimpi ingin menjadi muridku, semua kutolak. Akan tetapi kau malah mentertawakan aku, setan!"

"Aku tidak mentertawakan kau, taisu. Jangan kau marah, ya? Cuma saja, untuk apa aku menjadi muridmu kalau hanya diberi pelajaran membunuh ular, menendang batu hitam dan memukul hancur batu putih?" Pertanyaan ini keluar dari hati yang polos dan begitu jujur sehingga saking bingungnya Ciu-ong Mo-kai menjatuhkan diri di atas tanah, bengong tak tahu harus berkata apa.

"Laginya, taisu," kata pula Bi Eng sambil ikut-ikutan duduk di atas tanah depan pengemis itu. "Menurut kata Sin-ko, orang belajar ilmu silat hanya mendatangkan malapetaka, menimbulkan kerusuhan dan membuat orang jadi suka berkelahi saja. Tidak baik menurut kata Sin-ko dan Sin-ko memang benar."

Kasih di Antara RemajaWhere stories live. Discover now