Part 11

17 4 0
                                    

Sean dan aku sampai di depan rumahku. Pagar rumah sudah terlihat sepi tanpa gembong. Tandanya, salah satu dari ketiga keluargaku sudah pulang ke rumah.

"Sean. Thanks untuk malam ini."

Sean tersenyum ke arahku. Bulan sabit yang selalu menghiasi wajahnya, terasa menerangi kegelapan yang sering datang ke dalam hidupku.

"It's ok. Gue duluan. Bye." jawabnya sambil berjalan menuju rumahnya yang tepat disamping rumahku.

Kami dengan bersamaan membuka pagar rumah kami masing-masing. Tersenyum ke arah satu sama lain setelah menutup pagar. Melambaikan tangan bersamaan dan masuk ke dalam rumah. Ku rasa, kami melakukan itu dengan kompak. Ck.

Aku masuk ke dalam rumahku. Di ruang tengah terlihat kak Reno yang memberi makan kucing peliharaannya, Pussy. Menyadari kedatanganku, kak Reno langsung mengarahkan pandangannya ke arahku.

"Dari mana, Rey?" pertanyaan pertama setiap aku pulang terlambat.

"Habis keluar bareng Sean." ucapku sembari berjalan menghampirinya. Ikut memberi makan pada Pussy.

"Oh. Udah ketemu sama Sean toh." kak Reno terus memberi makan pada Pussy tanpa menengok ke arahku.

Hah?

Udah ketemu?

"Jadi, kak Reno udah tahu kalau Sean udah pulang?" tanyaku tidak mengerti.

Kak Reno menegakkan punggungnya. Melihat ke arahku. "Tahu kok. Udah dua hari dia pulangnya." kak Reno kembali memberi makan pada Pussy.

Hah? Kok gak bilang sih kak Reno? Kenapa sepertinya semua menyembunyikan Sean dariku? Apa ayah dan bunda juga tahu tentang kepulangan Sean?

"Ayah sama bunda mana, kak?" tanyaku membiarkan jawaban kak Reno tadi terbawa angin.

"Bunda lagi ngobrol sama tante Mira di samping. Kalo ayah belum pulang." kak Reno kembali menegakkan punggungnya. Menepuk-nepuk kedua telapak tangannya membuang sedikit remah makanan Pussy.

"Selesai. Dah sana, Pus. Main gih." ucap kak Reno pada Pussy. Bukannya pergi, Pussy malah berguling di dekat kaki kak Reno.

"Ah elah, Pus. Sana. Mau nonton nih." kak Reno melipat kedua kakinya di atas sofa. Membuat Pussy mencari-cari kaki kak Reno di bawah sofa. Sedangkan aku, hanya melihat Pussy yang berputar-putar.

"Emang kenapa, Rey?" tanya kak Reno membuatku berhenti melihat Pussy.

Aku hanya menggeleng. Beranjak dari sofa dan melangkah menuju kamarku. "Kalau mau ke samping, ke sana aja Rey." ujar kak Reno sembari mengganti channel tv dengan remot ditangannya.

"Iya, nanti kalau ada mood."

Aku melangkah menaiki anak tangga. Masih memikirkan pikiran keluargaku yang terasa seperti menjauhkanku dengan Sean.

Kalau kak Reno bilang, Sean sudah dua hari pulang kerumah. Tapi kenapa dari kemarin aku tidak melihatnya. Bahkan aku melihat rumahnya seperti tidak ada siapapun di sana. Apa mereka juga masih menutupi kedatangan mereka padaku? Tapi kenapa hanya aku? Ah, entahlah. Moodku sedang tidak beres hari ini.

Aku mengganti pakaianku dengan baju tidur pinky-ku. Merebahkan tubuhku di atas kasur empuk yang sebenarnya saat pulang sekolah tadi, sudah aku harapkan. Tapi nyatanya, baru sekarang aku merasakannya.

Mataku terpejam. Pikiranku mulai tenang. Akhirnya, pikiran yang tenang datang juga. Aku mencoba secepat mungkin membawa alam sadarku pada dunia mimpiku. Tapi semua itu runtuh ketika seseorang mengetuk pintuk kamarku.

Dengan malas, aku bangun dari tidurku. Berjalan dengan lunglai menuju pintu. Pintu yang awalnya terdengar ketukan kecil, kini terdengar keras. Kenapa sih? Dah kayak di kejar maling deh kenceng-kenceng ketuknya. Gerutuku dalam hati.

Aku memutar kunci yang bergantung di pintu. Kubuka pintu kamarku. Dan,

BOOM.

Sean?

Ngapain ke rumah?

Langsung ke kamarku,

Ketuknya buru-buru lagi,

Why?

Sean langsung masuk ke dalam kamarku dan menutup pintunya. Dia berdiri memunggungi pintu kamarku dan berhadapan denganku. Dengan tampang yang bertanya-tanya.

Dia mengatur nafasnya. "Akhirnya keluar rumah juga." ucapnya duduk di lantai bersandar pintu.

Hah?

Keluar rumah?

Maksudnya?

"Ini bukannya di dalam rumah ya, Yan?" tanyaku ikut duduk dihadapannya.

Dia menghentikan kegiatannya mengatur nafas. Memperhatikanku dengan datar. Dengan tatapan malas ia melihat ke arahku. Dan aku? Mengangkat sebelah alisku.

"Maksud gue, rumah gue, REYNA." ucapnya dengan penekanan pada penyebutan namaku.

Aku terkekeh melihatnya yang seperti itu. Jarang-jarang aku buat dia seperti itu.

"Emangnya kenapa mau keluar rumah?" tanyaku penuh tanya.

Sean menghembuskan nafasnya gusar. "Masa gue habis anterin lo beli martabak, disuruh beli martabak lagi." ucapnya memelas.

Aku mendengar ucapan memelasnya itu tertawa. Benar-benar penyataan yang lucu. "Ah elah lu, disuruh beliin martabak aja kabur. Disuruh orangtua juga." ucapku masih dengan tawa.

"Lah, kan gue capek Rey."

"Naik motor."

"Mager."

"Ish, lu mah mageran terus dari kecil. Sana gih pulang, beliin emak lo martabak. Ngidam kali tuh." aku melangkahkan kaki menuju kasurku dan merebahkan tubuhku.

Sean yang kulihat berdiri dari duduknya ikut berjalan menuju kasurku. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasurku, sebelum aku merebahkan tubuhku lebih dulu.

Dengan malas, aku memutar bola mataku. Kebiasaan Sean lagi. Menyebalkan, tapi ya sudahlah.

Aku menarik tangan Sean hingga ia berubah posisi menjadi duduk. "Pergi ah, gue pengen tidur. Sana, ihh!" ucapku menarik-narik tangannya.

"Gue capek, Rey. Bentar doang."

"G."

"Gk usah singkat jawabnya."

"Bd."

"Rey, ini bukan chatan. Ini tuh ngobrol. Ngapain singkat-singkat sih ngomongnya."

"Hm"

Sean memutar bola matanya. Ia berdiri dari duduknya. Melangkah ke lemari bajuku dan mengambil sebuah cardiganku yang tergantung di dalamnya. Kembali berjalan menuju arahku yang duduk di pinggir kasur dan menarik tanganku. Menarik hingga keluar kamarku. Bahkan hingga keluar rumah.

"Heh, ngapain lu narik tangan gue sih? Tuh cardigan gue kenapa lu bawa?"

"Anterin gue beli martabak naik motor." Sean melempar cardigan ke arahku. "Tuh pake!" perintahnya.

Secara langsung, aku memprotes dirinya. "Apa-apaan? Gak mau. Gue capek, Seann." protesku.

Ia tak menghiraukan ucapanku. Kembali menarik tanganku hingga ke depan pintu rumahnya.

Krekk. Pintu terbuka. Terlihat Bunda di dalam rumah. Sendirian.

"Bunda?"

Bunda terlihat terkejut melihatku datang. Aku hanya diam. Kembali aku berpikir tentang keluargaku yang menjauhkanku dengan Sean. Tapi, aku sebenarnya tidak ingin mengungkitnya.

***

Demi apapun, ini abal bgt-,- maafkan aku yang mulai abal ceritanya>‚<

«« Next »»

Sincero ✓Where stories live. Discover now