Part 9

18 4 0
                                    

"Putus?" Sean mengerutkan keningnya saat aku mengatakan kalimat yang dengan mudah keluar dari mulutku. Ah, sepertinya aku akan mudah melupakan lelaki itu.

Aku mengangguk mengiyakan Sean. Sean melepaskan peganggannya di bahuku. Mengangkat sebelah alisnya ke arahku. "Lu gak pernah bilang kalo lu punya pacar." ucapnya terdengar seperti protes.

Aku memutar bolaku malas. Gimana mau cerita kalo dianya aja hilang kabar? "Lu ngilang kabar, Sean." ucapku menekankan suara pada kata Sean.

Dia yang mendengar ucapanku cengir-cengir kuda. Jehhh, dasar Sean.

"Emang kenapa mau putus? Lu disakitin ya?" tanyanya menginterogasi.

Hellowww Sean. Ya iyalah gue pengen putus karna gue disakitin. Kalo enggak, ngapain juga gue putus? Batinku greget pada Sean.

"Pertanyaan bodoh." ucapku merubah posisi duduk menghadap depan. Tidak lagi berhadapan dengan Sean.

"Jadi, yang tadi lo diem di depan pager rumah lo, karna habis putus? Eh, bukan deh. Tapi, habis disakitin?" tanya Sean menduga-duga.

Aku hanya mengangguk mengiyakan tanpa menoleh ke arahnya. Sean pasti mengerti apa yang aku rasakan sekarang, tapi aku merasakan bebas. Bebas bisa bercerita pada Sean tanpa harus menangis. Aku yakin, aku akan melupakan Angga secepat yang aku bayangkan. Bahkan, mungkin besok pagi aku sudah melupakan bahwa ada seorang laki-laki bernama Angga yang pernah bersinggah di hatiku. Ah, secepatnya mungkin lebih baik.

"Wuahh, parah banget tuh cowok. Siapa sih orangnya? Tunjukin sama gue, Rey. Emosi gue udah diambang batas nih. Mana ada coba yang boleh nyakitin, Reyna. Reyna itu GAK BOLEH DISAKITIN." Sean menghentikan ucapannya dengan semangat itu. Dan entah sejak kapan, aku sudah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresinya yang sudah seperti,, ah entahlah. Susah dideskripsikan.

Sean menarik nafasnya perlahan dan menghembuskannya. Suaranya tadi benar-benar menggebu hingga menghabiskan oksigen di dalam tubuhnya. Saat selesai melakukan pernafasan dengan langkah cepat itu, Sean melihat ke arahku. Dengan wajah jengkelnya, -mungkin-.

"Kenapa lo ketawah-ketawa, hah? Bukannya nangis disakitin. Gue emosi nih. Pengen gue gebukin tuh orang yang nyakitin lo. Orang yang paling gue sayang dan paling gue cinta in... ni ..."

Tawaku dengan sekejap terhenti. Apa yang Sean katakan barusan? Cinta? Ah, cinta sebagai sahabat bukan? Atau, no no no no. Say no to me, Sean. Ah, jadi ngomong bahasa Inggris yang abal kan.

Tapi, bodo amat dah itu. Ini, Sean di samping tubuhku. Dengan wajah yang saling berhadapan. Sean, apa maksudnya? Cinta? Cinta sebagai apa Sean? Kenapa lo berenti? Ighhh, Sean lo ngapa sih? Otak lo ngapa selama lima tahun terakhir? Dicuci pake apa sih otak lo di Inggris? Jangan balik ke Inggris kalo otak lo begini.

Sean masih diam. Menutup mulutnya serapat munking, -namun tidak dengan tangannya- Ah, Sean kenapa diem?? Halloooo, Sean. Kenapa lo gak lanjut ...

"Kenapa sih tuh cowok berani nyakitin hati lo, Rey? Pokoknya gue gak mau tahu, lo harus buat gue ketemu sama dia. Gak ada BANTAH." Lanjut Sean masih dengan suara yang menggebu-gebu.

Ah, lupakan kata cinta yang diucapkan Sean tadi. Mungkin kata itu sudah terbawa angin. Atau lenyap jatuh ke jurang? Sean juga sepertinya mencoba melupakan itu. Sean mengatur nafasnya. Melirikku dengan tatapan ... -ganas-? Wah, tumben-tumbenan dia memasang wajah dengan seperti itu. Membuatku bergidik. Dan menahan tawa, pastinya. Ck.

"Gak usah lanjut cerita tentang tuh cowok. Sekarang, kita pulang." Sean berkata memerintah.

Aku dengan senang hati ikut dengannya pulang. Tapi, what? Hah? Dia ninggalin aku yang baru aja berdiri? Sebegitu keselnya ya dia, sampe aku juga ditinggal? Sean eror-_-

Aku berjalan mencari Sean di daerah taman yang tak terlalu luas. Tapi, ke setiap sisi aku mencari Sean tidak ada. Kemana dah tuh anak? Ninggalin gak bilang-bilang lagi. Udah pulang apa ya? Batinku bertanya.

Aku pun memutuskan untuk pulang tanpa tahu keberadaan Sean sekarang. Aku berjalan keluar dari daerah taman.

Puk'

Seseorang menepuk bahuku. Sejak saat itu juga, aku refleks menyikut orang yang menepuk bahuku. Menyikutnya ke arah bagian perut.

"Aww." orang itu meringis menunduk. Menekuk bagian perutnya yang kusikut. Satu tangan memegang perutnya, dan sebelah lagi memegang kantong plastik bening berisi sebungkus martabak manis.

Hah?

Martabak manis?

Ini ...

Ini Sean ya?

"Rey, kenapa lo mukul perut gue?" tanya orang itu yang ternyata benar Sean.

Aku menutup mulutku. "Eh, sorry Yan. Gue refleks. Lagian langsung nepuk bahu gue. Gue kira orang jahat. Kan udah malem. Sorry ya, Yan. Sorry" ucapku meminta maaf pada Sean dengan puppy eyes-ku.

Sean menegakkan tubuhnya. Mungkin mencoba meredakan sakit nyeri dibagian perutnya. Tapi, entahlah.

"Lu mah make mukul perut gua. Nyeri nih. Gue peluk lu." ancamnya. Ah, mulai lagi deh. Tahu ah.

Aku menginjak kakinya. Dan lagi-lagi dia meringis. "Reynaaa, perut gue masih nyeri. Kenapa lo nambahin nyeri di bagian kaki gue sih?" tanyanya memprotes.

"Lagian omongan lo gak jelas. Dan lu kayaknya harus tahu ya bedanya mukul sama nyikut!?" ucapku tak menghiraukan protesannya itu. Dan meninggalkan dirinya yang mungkin masih menahan nyeri.

Aku menahan tawaku. Biarlah, sekali-kali setiap dia mengancamku, dia dapat sesuatu yang spesial dariku. HAHA.

***

Next baee. Kata-katanya masih abal kyk part sebelumnya. Tapi semoga suka lha.. Vote gak vote, comment bae jg gpp. << next >>

Sincero ✓Where stories live. Discover now