BAB 5 (Masa Lalu VS Masa Depan)

36.5K 4.1K 326
                                    



Seharian ini aku benar-benar gelisah. Ini gara-gara semalam aku memecahkan pigura foto pernikahanku dengan mas Adit. Entahlah, feelingku sangat amat buruk. Sialnya, setiap kali aku punya feeling seperti ini, hampir 99% menjadi kenyataan.

Sejak pagi aku sudah berusaha menghubungi mas Adit, tapi satu kalipun teleponku tidak ada yang diangkat. Bahkan pesan LINE-ku juga tidak di read. Mungkin kalau tidak ada kejadian pigura foto yang pecah itu, aku tidak terlalu peduli karena memang sudah terbiasa dengan sifatnya yang secuek itu sejak kami menikah.

Kamu kemana sih, Mas? Please angkat dong!

"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi—,"

SHIT!

Telingaku sampai bosan mendengar suara mbak-mbak operator itu terus yang muncul setiap kali aku meneleponnya per-15 menit.

Tidak hanya handphone, telepon apartemennya pun tidak diangkat. By the way, sudah 5 bulan ini mas Adit hidup sendiri di Jakarta. Bibi yang biasa membantu tidak bisa lagi bekerja dengan mas Adit dikarenakan tubuhnya sudah terlalu renta dan gampang sakit-sakitan. Aku sudah menawarkan diri untuk membantunya mencarikan pembantu baru namun mas Adit menolak. Alasannya, "Aku tidak butuh pembantu, yang aku butuh kamu,"

Jelas saja kami bertengkar hebat saat itu. Dia tahu apa alasanku tidak bisa menemaninya menjalani hidup di Jakarta. Pertama, karena ayah sekarang sering sakit-sakitan. Setahun yang lalu saja ayah sempat serangan jantung. Apesnya, gejalanya mirip dengan sakit maag yang sudah ayah derita sejak lama sehingga ayah pikir saat itu kondisinya tidak berbahaya. Untung saat itu ibu meneleponku dan serta merta feelingku langsung tidak enak. Ternyata benar, ayah sedang serangan jantung dan sempat masuk ICCU. Bagaimana bisa aku meninggalkan ayah jika kondisinya seperti itu?

Kedua, pekerjaanku disini sudah sangat baik. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan apa yang aku jalani selama ini. Tidak hanya masalah pekerjaan, tapi juga dengan orang-orang di sekitarnya. Coba kalian pikir, di saat kalian sudah sangat 'klik' dan menemukan kenyamanan, lalu kalian harus pindah begitu saja, rasanya sungguh sangat berat, kan?

Ketiga, rumah kami disini. Persetujuannya demikian saat akan menikah, bahwa rumah kami akan dibangun di Jogja. Bahwa kelak, kami akan menghabiskan masa tua di kota ini. Bahwa Jogja akan menjadi saksi bertumbuhnya anak-anak serta cucu-cucu kami. Mungkinkah semudah itu aku menghancurkan mimpi yang sudah kami bangun saat kami baru menikah dulu dengan pindah ke Jakarta?

Keempat, Jakarta itu kota yang rumit. Dulu, saat merantau kesana, aku sering kali merasa stres dan menangis tanpa alasan yang jelas. Bahkan, sering juga aku merasa kesepian padahal sedang berada di tengah keramaian. Tidak jarang kalau sedang naik transportasi umum seperti busway, jiwaku seperti melayang entah kemana dan yang tersisa hanya raga yang bergerak mengikuti rutinitas. Intinya, Jakarta tidak baik untuk kesehatan mentalku.

Well, 4 poin diatas cukup menjadi alasan untukku tidak bisa memenuhi permintaan mas Adit. Lagipula, jika aku ke Jakarta, toh aku juga akan jarang bertemu dengannya karena dia sangat sibuk dan aku malah kesepian karena tidak ada keluarga satupun disana. Oke, ini bisa saja dijadikan sebagai poin kelima mengapa seorang Adit tidak bisa menuruti kemauan suaminya.

Ini memang sebuah problematika jika menikah dengan seorang hardworker dan study oriented sepertinya. Apalagi orang tersebut adalah seorang dokter. Sudah waktumu terbagi, perhatian juga ikut terbagi dengan pasien-pasiennya.

Internal Love 2Where stories live. Discover now