#11 Mereka Bersaudara?

132 19 7
                                    

   
      Stefan Ananta, kalau sudah bertekad akan susah dihalang. Besar keinginan untuk mencapai tujuan itu dia melakukannya dengan berbagai cara. Termasuk mengamati cara bermain Kelompok tim basket kakaknya yang sedang berlatih di lapangan. Dia mengamati, dan di cernanya baik_baik melalui teknik dasar hingga tingkat yang lebih sulit. Belajar Matimatika ataupun fisika tidak ada bedanya dalam menguasai permainan olah raga manapun. Terpenting yang ia tau, kerja keras dan ketekunanlah yang menjadikan seseorang bisa menggapai apa yang ingin dia raih.
         
          Ia ingin sukses bukan hanya menguasai pelajaran di sekolah tapi di bidang olah raga entah kenapa membuatnya akhir_akhir ini jadi tertarik sekali dan manfaatnya yang dia rasa walau tidak secepat bayangannya. Setiap bangun tidur stefan tak pernah lupa mengecek tinggi badannya, mula_mula tidak ada perubahan. Keseriusannya diuji demikian keras. Maxim masih suka meledeknya dengan sebutan 'Adik Manis' menyindirnya yang terlihat lebih cocok jadi Anak SD ketimbang Anak SMP yang mulai disebut ABG. Meski geram stefan tidak menanggapi ejekan kakaknya justru ia akan membuktikan ucapannya itu sampai maxim tidak lagi mampu untuk menghinanya.

          Lewat solusi dari Mario sang ayah. Stefan dilatih olah raga pull_up sebuah gerakan yang dieksekusi  dengan menarik tubuh dari posisi menganggantung sempurna pada sebuah besi yang sengaja dibuat khusus, hingga tubuh stefan terangkat. Latihan itu dilakukan setiap sore hari. Kadang kalau ayahnya sibuk mengurus tugas perusahaan dikantor. Maka stefan latihan sendirian. Memang butuh waktu lama untuk dapat hasil. Tapi stefan senang bukan main. Dari tingginya yang cuma 140 cm naik jadi 142 cm. Pagi itu di hari minggu yang cerah. Stefan berteriak kegirangan. Maxim tertawa_tawa dari balik pintu. Ia setiap pagi memang tak luput memantau adiknya kalo lagi cek tinggi badan. Maxim memasuki kamar adiknya. Pakaiannya sangat santai. Celana pendek selutut dan baju kaos putih tangan lengan. Makin bersinar saja kulitnya yang putih itu lain halnya stefan yang masih belum mandi, rambut berantakkan, kantung mata yang menyempit, meski  begitu wajah tampannya yang baru bagun tidur malah tambah menggemaskan.

"lo boleh ketawain gue sepuasnya tapi nanti untuk ketawa aja lo bakalan gak sanggup karena liat perubahan gue yang bakal ngalahin lo" imajinasi stefan memang patut diremahkan seorang maxim. Dia menganggap stefan sedang berhayal tingkat tinggi.

"alah. Gue nih baru 15 tahun tinggi udah 158 cm. Target gue sih tingginya 165 ya pas kelulusan nanti. Lo baru segitu, kapan mau ngalahin gue broher manis." stefan hanya balas tersenyum walau sebenarnya senyum itu sangat tidak ikhlas dilihat. Senyum keterpaksaan yang dibuat. Tanpa berucap sepatah katapun stefan segera melangkah ke kamar mandi.

"gue tunggu di depan yah. Kita olah raga sepeda." tak ada balasan dari stefan. Anaknya cepat sekali ngambek'kan tapi walaupun begitu stefan sangat mudah diluluhkan. Hanya dengan sebuah komik keluaran terbaru apapun si cowok berambut hitam itu langsung akan memaafkan maxim. Ya, Maxim biasanya menyogok stefan dengan kesukaan yang jelas dia tau maunya.

           Maxim menunggu stefan di depan teras. Tak berapa lama stefan muncul dengan setelan yang sama seperti maxim. Dia pakai celana pendek selutut dan kaos merah tanpa lengan. Jadi kalau di padu padankan kedua kakak itu layaknya upin ipin yang sangat susah di bedakan. Kesamaan punya paras tampan yang tak ada bosannya bila ditatap. Tapi maxim kelihatan jauh lebih dewasa ketimbang stefan si cowok berwajah imut dengan julukan apa lagi kalo bukan si 'Baby Face'.
 
          "fan. Balapan yuk. Siapa yang kalah harus traktir dia makan gratis disekolah sepuasnya selama 3 hari, dan yang kalah harus menemin yang makan tanpa ikutan makan. Gimana?" stefan tampak diam sejenak. Ia ragu untuk bilang iya. Tapi, kalau dia bilang enggak. Si pirang itu pasti akan meledeknya payah.

"Ok. Gue terima tantangan lo."

"Bagus. Kita star dari sini ya dann batas finisnya ada di ujung komplek sana, deket jalan raya. Lo siap?" Stefan mengangguk. Ia kelihatan sangat bersemangat. Maxim apalagi dia memang paling senang membuat sebuah kesepakatan apalagi bersaing duel untuk membuktikan kalo dirinyalah yang paling jago. Maxim menghitung mundur.

Back In The EarlyWhere stories live. Discover now