Part 3

448 33 6
                                    

TIGA

Dari awal cerita rachel sudah yakin ini akan sangat menghebohkan buat nasya. Selain kutu buku ternyata nasya orang yang update soal perkembangan gosip-gosip di sekolah ini. Nasya tak menyangka murid baru berpenampilan tomboi itu ternyata punya bakat menarik. Pandai main basket dan sekarang tengah jadi perbincangan sesekolah atas tersebarnya satu photo rachel bersama maxim yang sedang ngobrol dengan posisi berhadapan di dalam aula.
Tak menampik bahwa rachel sekarang akan menjadi bahan sorotan. Nasya menjelaskan rasa khawatirnya pada rachel yang sekarang pasti akan dapat masalah dari fans maxim yang tidak terima jika ada cewek yang dekat dengan cowok kapten tim basket itu. Tetapi sukar rachel tidak akan takut menghadapi mereka jika ada yang berani menantangnya, apalagi di sekolah lama rachel sering sekali dapat masalah akibat berkelahi dengan teman satu kelas ataupun kakak kelasnya.
"Beneran pernah berantem. Sama temen sekelas? Kakak kelas juga? Seumur-umur gue paling risih kalau liat orang berantem, jambak-jambakan lagi. Gue mah cinta damai aja sih. Kalau lo, cinta rusuh tuh."
"Ye. Dulu iya, beda sekarang. Gue gak mau aneh-aneh lagi lah. Inget mama soalnya. Kasian kan kalau mama gue, punya anak cewek tapi kelakuan kaya cowo." walau baru kenal nasya dan rachel sudah kelihatan sangat akrab. Rachel tak segan-segan bercerita tentang maxim kembali. Nasya terperangah begitu rachel bilang akan bertemu dengan maxim sepulang sekolah untuk duel main basket.
"Gue ikut dong.. Pengen banget liat dia dari deket."
"Yaudah ikut aja. Tapi nyempil di dalem tas gue."
"Yaelah rachel."
"Becanda. Hhaha.."
"Jadi gue ikut nih."
"Iya. Asal bagi contekkan mtk ya." nasya mendengus kesal. Bisa-bisanya memanfaat keadaan.
"Ogah. Susah-susah gue ngerjain. Lo tinggal nyalin doank."
"Ayolah bagi-bagi. Sumpah deh gue gak ngerti sama sekali. Guekan murid baru, kasianin dikit yah." nasya memang orang yang mudah luluh jika sudah di bujuk jadilah ia mengiyakan dan menyerahkan buku mtknya ketangan rachel. Rachel kegirangan dan segera memasukkan buku itu kedalam tas birunya.
"Besok langsung gue balikin deh." nasya hanya diam dengan wajah masamnya yang masih belum ikhlas.
Satu jam, dua jam, 3 jam berlalu. Tiba saatnya bel sekolah berbunyi menandakan jam pelajaran terakhir telah usai dan seluruh siswa SMP 8 mulai bergegas keluar.
Kerumunan siswa-siswi mulai memadati area parkir. Tersedia area parkir sepeda yang lebar, tidak ada kendaraan bermotor bagi siswa di sekolah itu. Hanya guru yang membawa kendaraan mobil maupun motor. Jika kedapatan ada murid yang membawa motor di sekolah akan di kenakan sanksi, yaitu di keluarkan dari sekolah.
Nasya tak jadi ikut dengan rachel kelapangan basket. Karena ia mendadak ditelphone mamanya, untuk langsung pulang. Bilang mama-nasya, adiknya naura yang baru berumur 5 tahun masuk rumah sakit terkena gejala typus. Jadilah rachel menganter nasya ke parkiran sampai di jemput supirnya, setelah nasya pergi hanya tinggal rachel sendirian. Ia lalu masuk kembali kedalam sekolah menuju lapangan basket. Sesampainya disana hanya ada angin kosong. Ia menunggu kedatangan maxim dan duduk di akar pohon bringin tua sambil minum air mineral.
"Dimana sih itu orang. Lama juga ya gak dateng. Jangan-jangan dia gak dateng lagi. Paling males gue kalau yang namanya nunggu. Mana sih.." rachel menutup botot mineral itu sambil melirik kesegala arah berharap orang yang di tunggunya muncul. Tetapi tidak ada sama sekali.
Rachel mengerah kesal dan bangkit dari duduknya. Ia berniat pulang namun niatnya urung begitu cowok itu muncul dan melempar bola basket kearahnya. Untung rachel segera sadar dan langsung menangkap bola basket itu kedekapan dadanya.
"Gila lo ya." protes rachel lalu melempar balik bola basket itu kearah maxim. Maxim mengambil bola basket itu yang tak sampai ketangannya. Begitu rachel berdiri di hadapannya, cowo itu menyunggingkan seulas senyum tipis.
"Seneng bisa kenal sama lo, jutek." jutek katanya? Memang kesannya rachel ini berwajah jutek dan jarang tersenyum.
"Terserah deh mau manggil gue apaan. Memang ya gue jutek?!"
"Ada saatnya lo keliatan manis." rachel menghembuskan nafas sejenak, setelah merasa cukup tenang ia mengambil bola basket itu dari tangan maxim dan mencoba memulai permainan.
"Hebat juga ya lo. Berani sama kakak kelas." rachel menghentikan permainannya lalu menatap maxim.
"Lo kakak kelas gue?"
"Ya. Memangnya lo gak tau. Mesti gue jelasin. Ok, gue jelasin sekarang. Nama, maxim ananta. Kelas, 9B. Jabatan, kapten tim basket di sekolah ini. Alamat____"
"Cukup. Cukup. Cukup. Iya, iya gue udah tau. Kayanya lo bangga banget ya punya jabatan kapten tim basket. Di ulang melulu deh." rachel memang cewe yang gak ada takutnya. Dengan kakak kelas ia berkata tidak ada manisnya sama sekali dan maxim cukup menyimaknya dengan pandangan yang datar. Sebenarnya maxim ingin mengatakan kalau ajakan yang ia tawarkan bukan sebagai duel. Hanya sekedar ingin mengetes kemampuan cewek itu yang membuatnya penasaran.
"Kita mulai sekarang gimana? Menang atau kalah itu jangan di jadiin masalah. Buat gue menang udah biasa. Tapi sekarang. Gue mau minta satu permintaan sama lo. Boleh?"
"Apa?"
"Kalau gue menang dan lo kalah. Lo harus manggil gue dengan sebutan 'kakak ganteng'!"
"Hah? Pake tambahan ganteng? Bener-bener Pede. Yaudahlah Ok. Siapa takut ajalah. Gue juga boleh minta satu permintaan. Kalau gue menang dan lo yang kalah. Lo harus___ makan rumput itu-tuh 20 helai. Berani??" maxim berkacak pinggang memperhatikan rumput yang tumbuh rapih di pinggir lapangan. Permintaan cewek ini memang aneh, dia kira maxim ini kambing di suruh makan rumput. Tetapi jangan menolak, dimana harga dirinya sebagai seorang cowok untuk menolak tantangan dari seorang cewek. Tanpa mengatakan Iya, cowok itu memberikan isyarat dengan telunjuknya agar ia ikut ke bangku panjang yang tersedia di pinggir lapangan. Rachel mengendikkan bahu dengan wajah super datar.
cewek tomboi itu mengikuti maxim yang sudah duduk terlebih dahulu.
"Kalau mau mulai duel. Gak mungkinkan kita berdua aja. Terus siapa yang bakal jadi wasitnya."
"Baru gue mau ngomong. Sebentar lagi pasti orangnya dateng." dan feeling maxim rupanya tak salah. Belum sampai semenit berlalu orang yang bakal jadi wasit itu datang dari lorong koridor. Cowok itu berkulit sawo matang, pakai baju lengan panjang putih, celana jens pendek hitam, sendal rumahan, dan di tambah pakai topi warna biru dia bersay hello pada maxim lalu begitu melihat rachel dia mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sama, rachelpun begitu. Keduanya bereaksi berbeda.
"Wahh. Wahh. wahh.. Elo kan bukannya yang telat tadi pagi??? Baru gue liat lo telat. Baru gue liat juga muka lo? Anak mana lo we.." pertama, begitu cowok itu bicara. Muka rachel semakin berkerut. Gaya bicaranya slengean, di tambah suaranya yang begitu berisik, cempreng lagi.
"Anak mana lo we... Diem aja kaya patung pancoran. Tinggal tangan lo begini-nih. Persis." kata cowo itu memperakan patung pancoran yang sering ia lewati. Rachel berdecak dan terbatuk pelan.
"Lo tadi nanya ya, gue anak mana? Jawabannya. Zonk."
"Wah. Wah. Wah. Berani juga ya lo jawab gitu. Biasanya tiap kali cewe yang gue tanya. Pasti selalu jawabnya manis-manis. Max, belum tau dia. Jelasin max gue ini siapa?"
"Oh. Ok, Ok, gue jelasin ko tenang aja." max menepuk-nepuk pundak teman di sebalahnya itu.
"Cepet jelasin"
"Iya, ya gue jelasin. Nih.. Di sebelah gue ini namanya Rio mulyawan. Panggilan bekennya Rio Pesek."
"Loh, loh, loh, harusnya gak begini. Lo bagusin gue max." bisik cowok itu geram. Rachel hanya diam melihatnya. Ia memang sudah tau siapa nama cowok itu. Cowok yang telat tadi pagi, yang di hukum pertama kali untuk lari keliling lapangan. Maxim menenangkan teman di sebelahnya. Ia lalu menjelaskan kembali.
"Walaupun idungnya pesek kaya aspal jalanan. Tapi dia itu punya bakat terpendam. Di sekolah ini, dia terkenal banget. Terkenal tukang telat, udah gitu di kelas setiap guru ngajar pasti dia nomor satu yang jadi langganan di timpuk guru pake penghapus. Udah taukan kenapa?!" rachel yang mendengarnya mengangguk-angguk sambil memperhatikan cowo di depannya itu yang keliatan kaya cacing kepanasan. Ia bahkan memperagakan seolah ingin menerkam maxim memakai tangannya. Maxim yang memang jahil langsung kembali membuka aib rio.
"Jangan mau di goda sama dia. Dia ini play boy. Udah gitu matre lagi."
"Aiihh. Lo apa-apaan sih max. Bohong itu bohong. Sekali lagi lo ngebacot, gue sumpel mulut lo pake sendal baru gua. Tapi kebetulan sendal gua abis nginjek tai tadi." max langsung menoyor pala rio. Rio hendak membalas max dengan sikap menghindar kesebelah samping otomatis rio terjungkal jatuh kekursi yang ada di depannya. Rachel tertawa lebar dan maxim melihat itu untuk pertama kalinya. Ya, maxim tak menyangkal bahwa rachel memang manis. Rachel yang menyadari bahwa maxim memandangnya langsung berhenti tertawa.
"Woy, jirr kucar kacir lo pada ya. Bukan bantuin gua. Malah tatap-tatapan. Apaan tuh maksudnya. Udah-udah gak usah tatapan mulu. Gue kesini mau jadi wasit. Ngomong-ngomong mana lawan duel lo max."
"Tuh" tunjuk maxim memakai dagunya. Mulut rio menganga lebar, begitu tau lawan duel max adalah cewe di depannya.
"Cewe. Gak salah lo?? Emang nih anak bisa." maxim lalu mendekati rachel dan merangkul pundaknya membuat gadis tomboi itu terkaget dan menatap wajah maxim yang tersenyum padanya.
"Ya bisa. Makanya gue ajak dia duel. Cewe ini baru masuk tim basket cewe tadi siang dan gue yang nyeleksi dia. Yaudahlah lo gak usah bengong gitu. Lo tinggal jadi wasit. Dan yang bener jangan curang. Karena ini pertandingan serius." rio yang masih heran hanya mengangguk-angguk paham saja. Rio lalu pamit pergi dulu keruangan pak reza, guru pelatih basketnya. Sebelum itu ia minta kuncinya pada satpam penjaga sekolah untuk mengambil peralatan yang di perlukan.


Back In The EarlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang