"Ayo..." Rio kembali mengajak Rachel meninggalkan ruangan Andrew.

Dan sebelum mereka benar-benar keluar, Rachel kembali menolehkan kepalanya ke belakang sembari terus berjalan.

Kedua manik mata mereka bertemu, dengan sorot pandang mata Andrew menatapnya sayu.
Lalu sosok Rachel benar-benar lenyap.

*****

Rio menuntun Rachel memasuki mobil yang ia parkir di tempat parkir khusus mobil dokter. Walaupun ia bukan salah satu dokter di rumah sakit itu, tidak ada satupun orang yang akan berani melarangnya. Rio memiliki akses mudah untuk kemanapun dan berbuat apapun di tempat itu. Lalu, Rio segera menutup pintu mobil sisi Rachel berada, lalu memutari dan membuka pintu mobil satunya. Sisi kemudi.

"Rio...?" Terdengar suara wanita memanggil namanya.

Gerakan Rio terhenti, mencari siapa sosok wanita yang telah memanggilnya. Tatapannya langsung berubah datar saat ia menemukan siapa sosok wanita yang ia cari. dr Raisa Sudibyo.

"Lama banget kita gak ketemu." Raisa mengajak Rio berjabat tangan. "Elo kemana aja gak pernah mampir ke rumah sakit?"

Sempat ragu sebentar, tapi Rio akhirnya membalas jabatan tangan Raisa. Rio diam tidak menjawab pertanyaan Raisa uang menurutnya hanya berbasa-basi dan mengulur waktu berharganya.

"Elo sendirian?" Raisa tidak memperdulikan kebungkaman Rio.

Kepala Raisa bergerak seraya menundukkan kepalanya, melihat ke dalam mobil Rio melalui pintu mobil Rio yang masih terbuka. Penasaran. Raisa mendapati Rachel sedang menghapus air matanya menggunakan tissu kering yang terdapat di dasbor mobil. Tahu jika itu privasi, Raisa segera berpamitan dan meninggalkan mereka memasuki rumah sakit.

Raisa mengenali siapa wanita yang sedang menangis itu sebagai wanita terdekat Rio. Dan sayangnya, dokter cantik itu tidak mengingat nama wanita tersebut dengan baik. Ya. Raisa telah melupakan nama wanita itu. Mungkin suatu hari nanti ia akan mencoba mengingat-ingat nama wanita itu.

"Dok...?" Seru Rio, membuat langkah Raisa terhenti dan menoleh ke arah Rio. "Tolong pergi ke ruangan kakak gue. Lihat di sana, apa dia sudah mati atau masih hidup?"

Rio langsung menutup pintu dan menyalakan mesin mobil.
Mobil Rio berlalu, membuat Raisa mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali. Tersadar dengan apa yang Rio katakan kepadanya, ia memutuskan untuk segera berlari menuju ke lantai 5 dimana ruangan presdirnya berada.

Lift berhenti tepat di lantai 5, dimana lantai puncak rumah sakit itu berada. Pintu ruangan presdirnya terbuka. Raisa berlari cepat dan matanya seketika membelalak kaget mendapati presdirnya yang tak lain adalah mantan kekasihnya itu tergeletak tak berdaya di atas lantai.

"Andrew...?" Seru Raisa panik. Ia membawa kepala Andrew ke atas pangkuannya. Menepuk-nepuk pelan wajah pria itu dan menyuruhnya bangun. "Bangun, Drew..."

Kelopak mata Andrew terbuka dan bibirnya meringis perih. Selain luka memar akibat terkena pukulan Rio. Andrew juga mendapati luka sobek pada bagian sudut bibir kanannya. Raisa membantu Andrew bangun dan membaringkan tubuh kekar pria itu di atas sofa panjang dengan bantal persegi sebagai alas kepala Andrew.

Raisa mengambil tissu kering dari atas meja tamu. Ia segera membersihkan darah yang mengotori wajah dan tubuh Andrew. Darah segar yang keluar dari mulut pria itu.

Andrew meringis perih dan sakit saat Raisa tak sengaja menyentuh lukanya.

"Luka elo parah banget, Drew! Elo harus segera dibawa ke IGD. Elo harus cepat mendapatkan perawatan."

Raisa berdiri akan menelepon bagian IGD melalui sambungan telepon yang berada di ruangan Andrew. Namun pria itu segera mencegah Raisa, "Jangan!!!"

"Kenapa?" Protes Raisa.

"Obati luka gue di sini!"

"Elo terluka parah, Drew..." Raisa menekan emosinya yang mulai tersulut tak sabar. "Elo harus diperiksa secara menyeluruh."

Kepala Andrew menggeleng pelan, "Gak. Gak, gue gak pa pa."

"Andrew..." pekik wanita itu marah. "Gue emang gak tau masalah kalian apa? Tapi coba bicarakan masalah kalian dengan baik-baik. Kalian terlalu kekanakan."

Andrew terkekeh mendengar gerutuan Raisa.

"Diem gak elo!" Ancam Raisa marah. "Tebakan gue, elo emang yang salah. Masa' elo bonyok gini sedangkan Rio gak kenapa-napa! Kalau elo gak salah, gak mungkin elo gak balas pukulan Rio."

"Jadi Rio yang menyuruh elo buat nolongin gue?" Andrew tersenyum dan matanya kembali terpejam. Ternyata adiknya masih memperdulikan dirinya. Serapahan Rio benar-benar bukan dari dalam lubuk hatinya.
"Kalian emang gila!"

Andrew terdiam dengan deru napas yang ia atur sedemikian rupa. Ia sedang menormalkan pernapasannya. Meraup oksigen sebanyak mungkin untuk membantu kinerja otaknya dan menghalau rasa pusing yang melanda.

"Andrew..."

Hening.

"Andrew..." Raisa menggoyangkan tubuh pria itu pelan, "Bangun, jangan pingsan, Drew!"

Andrew hanya diam tidak merespon.

"ANDREW..."

"Hn," Andrew mengeliatkan tubuhnya dan membuka kelopak matanya. "Bisa gak sih elo diam. Cerewet banget jadi perempuan!" Desis Andrew tajam.

"Andrew..." protes Raisa sembari memukul lengan Andrew pelan.

"Awwww... Sakit bodoh!"
Kedua mata Raisa mendelik tajam. Protes!

"Sa..." pelan Andrew.

Raisa bersedekap dada dan menggerakkan bola matanya, "Apa?" Jawabnya malas.

"Gue..." Andrew mengambil napas dalam, "Gue gak mandulkan?"

*****

Miss CangCut's (Terbit)Where stories live. Discover now