Sakit Fa, asal kamu tahu. Aku sakit karena kehilanganmu. Semua kata-katamu dulu tidak lebih seperti angin lalu. Aku tidak akan pernah bisa bersamamu lagi. Kemarin kamu bilang status tidak akan merubahmu, tapi faktanya adalah sebaliknya. Bahkan hanya untuk memelukmu pun kini aku tidak bisa. Ada dia, istrimu yang membangun tembok tinggi di antara aku dan kamu. Dia yang sepenuhnya menutup matamu agar tidak menoleh ke arahku. Matamu kini hanya melihat ke arahnya. Mungkin jika aku menghilang dari dunia ini juga kamu tidak akan peduli, karena masih ada dia di sampingmu. Dia yang kini berstatus halal bagimu, istrimu.

Aku bukanlah siapa-siapa. Sampai kapanpun aku hanya sahabat, atau mungkin justru akan menjadi mantan sahabat. Aku tidak akan berkata seperti orang lain "Aku bahagia jika melihatmu bahagia" karena faktanya sekarang aku tidak bahagia.

**

Suara ketukan pintu bertubi-tubi sukses membangunkanku. Fuh, padahal aku baru tidur selepas subuh tadi. Aku bangkit dari tidurku dengan malas, siapapun yang menganggu pagiku ini sungguh menyebalkan. Aku akan memakinya saat ini juga.

"Eh?"

Aku melongo melihat orang yang ada di depanku. Speechless! Bagaimana mungkin aku bisa memaki manusia setengah tua ini apalagi dengan sosoknya yang saat ini tersenyum seakan tidak menganggu tidurku yang baru saja dimulai. Kenapa harus kak Daffa yang ada dihadapanku? Kenapa bukan Ave atau Didi?

"Kita pulang!" perintahnya langsung tanpa dia perlu mengucapkan basa-basi. Ah, bahkan dia tidak mau repot-repot mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum!" ucapku kesal. Aku berjalan meninggalkannya untuk bergegas ke kamar mandi. Perlu diingat kalau aku tadi menemui tamu tak diundang begitu membuka mata dan tanpa perlu disibukkan dengan kegiatan mencuci muka.

Mataku menatap miris pada bayangan yang ada di cermin. Wanita dengan rambut berantakan dan mata bengkak. Pantas saja Fadli memilih wanita itu Bil! Penampilanmu sungguh buruk. Aku sudah berupaya memoleskan make up seadanya namun tidak berpengaruh sama sekali.

"Bila, bisa lebih cepat tidak? Aku masih ada seminar pagi ini," sebuah suara menginterupsi aktivitasku di depan cermin.

Hei, bahkan aku tidak permah memintanya untuk menjemputku.

"Bila!" panggil Kak Daffa lagi saat aku sibuk bersungut-sungut karena ulahnya.

"Kalau Kak Daffa ada seminar ngapain juga mesti ke sini? Bila kan gak pernah minta dijemput. Lagipula Bila juga bukan anak kecil yang gak bisa pulang karena gak tahu jalan!" ucapku sebal dengan tangan mengemasi make up. Ah satu lagi, aku memang selalu membawa make up dimanapun dan kapanpun.

"Takut kamu gantung diri!"

Ya Tuhan! Kenapa lelaki yang hemat berbicara ini selalu berucap pedas saat sudah membuka mulutnya. Ck!

"Aku gak setolol itu!" protesku. Aku berjalan menuju nakas untuk mengambil smartphone dengan bersungut-sungut sementara Kak Daffa melihatku datar. Tetap, wajah tanpa ekspresi.

"Kita pulang!"

Setelah memberikan perintah yang seakan tidak mau dibantah Kak Daffa langsung melenggang pergi serasa tidak ada aku di sini. Ishhh, aturan kalau memang dia menjemputku dia menungguku bukan? Aneh! Saat ini justru aku yang mengekornya di belakang. Dia berjalan tanpa menoleh dan kurasa kalau aku menghilang Kak Daffa tidak akan sadar.

Hal yang paling menyebalkan disaat mood sedang buruk adalah bertemu dengan saudara sepupu yang super bawel sejenis Ave, dia sudah duduk manis di depan rumah saat kami tiba. Yeah, bahkan belum sempat duduk dia sudah bertanya hal yang sangat tidak penting. Dia menanyakan soal Nada dan baru berhenti saat aku masuk ke kamar dan membanting pintu dengan cukup keras. Pagiku sudah terganggu dengan kehadiran Kak Daffa dan kini aku butuh waktu sendiri. Aku tidak peduli apa yang akan dilakukan oleh dua makhluk yang ada di rumahku.

BilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang