Serpihan Hati Dua Belas

90 4 1
                                    


Puisi Untuk Zenita

Petikan instrumental gitar yang kumainkan pagi ini di lorong kampus setidaknya berhasil menarik perhatian beberapa mahasiswi-mahasiswi jurusan fashion yang melintas. Ini adalah lorong menuju Fakultas Program Fashion dan Produk Lifestyle di kampusku. Sementara aku adalah mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia yang gedung kuliahnya jauh dari tempat ini, setidaknya kalian harus melewati Gedung Fakultas Teknik Arsitektur, Gedung Fakultas Perfilman dan Fakultas Musik sebelum sampai ke sana. Gedung fakultasku merupakan gedung terpencil yang akan membuat kebingungan siapapun yang baru pertama kali datang ke Universitas ini.

Bukan tanpa alasan aku memainkan intro lagu Creed- One Last Breath di pagi ini meski aku bukan anak fakultas musik walau aku tampak seperti anak-anak fakultas itu. Dengan kemeja flanel yang tak pernah kukancingkan sehingga menampakkan t-shirt hitam bergambar wajah Jim Morisson dipadu jins robek dan sepatu cats dekil, aku dengan pede nongkrong di daerah dimana mahasiswa dan mahasiswi berpenampilan fashionable dan kekinian itu berseliweran. Ah, entah sejijik apa mereka melihat tampilanku ini, jangankan di fakultas ini, di fakultasku saja, Bahasa dan Sastra Indonesia, aku terbilang berpenampilan paling urakan karena seluruh anak-anak di fakultasku berpakaian rapi bahkan terkesan parlente dan itu sangat terlihat kaku juga membosankan. Tapi masa bodo, yang jelas aku ke sini hanya untuk mencari perhatian gadis itu, gadis yang kutaksir sejak awal melihatnya pada masa orientasi dua tahun lalu, Zenita, gadis berkerudung yang selalu tampil anggun dan meneduhkan. Mahasiswa Jurusan Program Fashion yang setingkat denganku, gadis yang bertahun-tahun mengabaikanku, mungkin karena dia waras. Lucunya aku menyukai pengabaiannya, itu merupakan tantangan bagiku, dan mendapatkannya bagiku jauh lebih penting dari mendapat gelar Sarjana Sastra. Berlebihan? Memang! Seperti cintaku untuknya.

Aku melihatnya, di pinggir jalan saat ia turun dari Marcedesnya, ia memang selalu diantar seorang supir saat kuliah, ia berasal dari keluarga kiai kaya di kota ini, pemilik pondok pesantren besar di beberapa kota di Indonesia. Awalnya saat mengetahui latar belakang keluarganya selalu muncul di benakku, "Apa yang dilakukan anak kiai di Universitas Seni?"

Entahlah, yang jelas kini aku harus merayunya, ia mulai tiba di ujung lorong menuju arahku (yang sebenarnya menuju gedung kuliahnya). Ia tampak memasang wajah masam melihatku yang sedang berusaha tebar pesona. Pagi itu ia terlihat anggung nan fashionable seperti biasanya, kerudung coklat muda yang dengan begitu pandai ia gunakan di kepalanya hingga terlihat modern, berpadu dengan kemeja jins biru muda dan maxi pants senada dengan warna kerudungnya, astaga, melihat tampilannya saat ini membuat petikanku fals karena konsentrasiku buyar.

Ia semakin mendekat ke arahku sembari mencoba sebisa mungkin mengalihkan pandangannya dariku, namun aku tidak peduli, yang kubutuhkan hanyalah daya dengarnya agar ia dapat mendengar ini..

Akronim Pagi

Padamu mataku tertuju

Atas pesona surgawimu

Genggamlah secawan puisi

Inginkan hati yang kau bawa

Entahlah bagaimana wajahnya ketika ia mendengar itu, aku tak dapat melihat wajah cantiknya itu. Yang kulihat kini adalah punggungnya yang semakin menjauh, meninggalkan wangi yang kuhirup dalam.

Ponselku berbunyi, petikan gitarku terhenti, tampak nomor Robin, sahabatku, mahasiswa Fakultas Musik  di layar ponsel. Dengan sedikit malas kuangkat teleponnya.

Aku dan Cerita Patah HatiWhere stories live. Discover now