Kepingan Hati Sembilan

128 7 4
                                    



Mengenang Nindya

Rindu adalah kepingan kepergian yang berusaha mencari jalan pulang, namun pada akhirnya tak ada yang tahu apakah rindu akan menemukan jalannya atau tidak. Bagi seorang perindu yang gagal sepertiku, pertemuan adalah ujung jalan yang tak akan pernah sampai. Nindya, kau telah berdiri di ujung jalan itu, sebagai tujuan yang tak pernah bisa aku wujudkan.

Aku merindukanmu nyaris separuh usiaku, mungkin pertemuan denganmu adalah takdir yang dirancang agar dilahap rindu, hingga lara adalah hal yang kini menjadi teman bicara. Aku merindukanmu seperti malam Natal terhadap aroma kue jahe, seperti cuaca terhadap hujan ketika musim kemarau panjang dan seperti prasasti terhadap penyair yang menulis puisi di permukaannya. Semuanya kutopang sendiri karena kau kini hanya lapang dalam ingatan.

Nindya, telah kujalani kesepian dengan fatamorgana di kepalaku dan itu adalah tentangmu. Kesepian telah memelukku, sama seperti kesepian yang bersandar pada gugur kelopak mawar yang harus berpisah dengan tangkainya pada menjelang musim semi. Aku kini menjadi orang malang yang hanya bisa menghiperbolakan kesalahan-kesalahan di masa silam, terhadapmu yang kini dipisah kepergian.

Nindya, kumohon kau datang sebentar saja dalam jamuan rinduku, walau hanya dalam mimpi yang semu.

***

Taman Merdeka, Kota Metro-Lampung.

Sore itu Matahari terasa begitu hangat saat musim hujan mulai beranjak pamit dari bulan April dan tak ada yang bisa seorang street fotografer sepertiku lakukan untuk membunuh bosan selain hunting foto di kota kecil ini. Tempat ini, Taman Merdeka yang cukup luas dan ramai dikunjungi masyarakat kota ini, namun tetap terlihat rapi dan teratur menjadi tujuanku untuk mengabadikan berbagai momen yang dapat kukenang dalam diafragma kameraku. Kau menjadi salah satunya, Nindya.

Itu adalah kali pertama aku melihatmu ketika alunan biola yang kau mainkan menarik perhatianku dan beberapa orang yang berada di radius tempat kau memainkannya. Langsung saja Lensa Canon 75-300 mm di ujung kameraku membidikmu yang begitu cantik dengan kemeja rayon biru muda yang kau masukkan ke dalam accordion skrit berwarna coral sehingga kau tampak terlihat cerah seperti cuaca di sore ini.Aku mendapat beberapa fotomu dan tersnyum puas dengan hasilnya.

Tepukan tangan bergema ketika kau selesai memainkan lagumu, beberapa orang melempar uang ke dalam case biola, tak kentinggalan aku pun memasukkan uang ke dalam case biola tersebut karena terpukau dengan permainanmu dan juga tentunya engkau, Nindya. Kau hanya tersenyum dan berkali-kali mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya aku tahu apa yang kau lakukan sebenarnya. Kau mengembalikan biola yang tadi kau mainkan kepada anak kecil di dekatmu yang ternyata anak itu ialah pengamen biola yang sesungguhnya, selepas kau membelai kepala anak itu, kau pergi meninggalkannya tanpa mengambil sepeserpun jerih payahmu barusan. Aku tahu kau pasti bukan siapa-siapa anak itu, namun kau begitu baik terhadap anak yang mungkin saja baru kau kenal beberapa saat lalu itu, hal itulah yang membuatku penasaran terhadapmu dan memutuskan untuk mengikutimu.

"Hei.." aku memanggilmu dan kau menoleh kepadaku.

"Ya?" Kau tersenyum kepadaku.

Seketika aku gugup mendapat senyumanmu itu dan rangkaian kataku hilang entah kemana demi melihat wajahmu yang seindah itu.

"Kau tadi memanggilku, kan?" Tanyamu lagi.

"Oh, iya, aku hanya ingin mengatakan..." Terbata aku mencari alasan, demi Tuhan aku hanya penasaran bukan memiliki kepntingan lain terhadapmu.

Aku dan Cerita Patah HatiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt