Kepingan Hati Delapan

115 9 1
                                    


Mencintai Kasih

Kita harus membahas ini, Kasih! Kita bisa pergi ke Belanda atau kemanapun asalkan kita bisa menikah. Kau bebas ke gereja atau memasang salib di kamar kita nanti, sementara aku akan tetap menjalankan shalat dan beribadah setiap jumat siang. Masalah anak nanti kita bahas. Pecayalah Puji Kasih Andriani, kita bisa membangun keluarga walau berbeda.

Aku meyakinkanmu waktu itu, sekitar tiga tahun lalu ketika cinta itu begitu besar dan tak terbantahkan rasional. Aku mencintaimu terlalu dalam, Kasih, hingga logikaku dibutakan oleh cinta yang salah. Meskipun aku tidak pernah menerima semua itu, tapi akhirnya aku meyadari bahwa cinta kita tak bisa melangkah lebih jauh lagi. Kita tidak akan saling meninggalkan apa yang telah kita yakini sebagai warisan orang tua kita, kan? Agama!

Meskipun begitu, mencintaimu adalah sebuah bahagia yang tak mampu terhapus memorinya. Aku menyukai membaca buku di bawah pohon rindang di depan katedralmu, atau kau pernah merasakan bahwa air di tempat wudhu masjidku terasa begitu segar ketika kau basuh pada wajahmu, kau bahkan melakukan berulang-ulang. Pada dasarnya kita saling menerima dan bertoleransi pada banyak hal yang terjadi di antara kita. Namun orang tua kita, tidak! Kita tak mampu berbuat apapun setelah itu.

***

Saat kita mulai menjalani kisah kita, aku tahu bahwa hal ini akan terjadi. Kita terlalu dalam saling cinta hingga tak mampu lagi membedakan seperti apa kebenaran dari kisah cinta seperti ini. Kau membuatku percaya adanya cinta yang besar seperti cinta Maria kepada Isa sepanjang kita menjadi pasangan kekasih, atau ketika aku dalam penantian naskah novelku untuk terbit, kau bisa membuatku yakin dan percaya seperti kau meyakinkan anak-anak kecil dengan iman sinterklas di dada mereka untuk terus berharap bahwa wakunya akan datang. Walau harus menunggu lama, karena keyakinan dan kepercayaan yang kau hembuskan kepadaku, lewat kidung doa di sepertiga malam, impianku menjadi kenyataan. Aku seorang penulis novel kini.

Menjalani kisah denganmu adalah jalanku mengenal Tuhan, kau tahu, kan, bahwasanya papa dan mamaku seorang yang religius? Dalam keseharian di rumah mereka tidak pernah lepas dari atribut yang menjelaskan kepada siapapun bahwa mereka adalah muslim yang taat. Sementara aku tidak begitu, shalatku saja masih tambal sulam, padahal itulah tendensi paling dasar dari agama yang kujalani. Aku lebih tertarik menjadi seorang pengkaji, berpikir secara radikal seperti yang pernah di ajarkan keorganisasian mahasiswa yang pernah kuikuti semasa kuliah. Aku cukup ahli membahas Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sama ahlinya ketika aku membicarakan pemikiran Abdul Athiya Ismail Ibnu Qosim dan puisi-puisi Jalaluddin Rumi, tapi aku tak pernah lancar melafadzkan ayat kursi. Begitulah aku sebelum bertemu denganmu, Kasih. Hal di atas sama persis seperti apa yang pernah aku ceritakan kepadamu di awal perkenalan kita, kan?

Kita bertemu di sebuah klub Universialis, sebuah wadah bagi kaum muda pemikir lintas agama yang fokus pada isu-isu intoleran dan kejahatan kemanusiaan di seluruh dunia. Kau ingat perkumpulan kita pernah dibekukan beberapa saat oleh lingkungan setempat dimana sekretariat kita berdiri karena disangka sesat? Itu lucu, bukan? Masyarakat kita memang selalu heboh ketika melihat  hal yang berbeda dalam ikatan kebersamaan. Seperti kebersamaan kita.

Kita tidak pernah tahu bagaimana semuanya bisa bermula ketika kita mulai dekat, kebiasaan kita mendiskusikan buku-buku sastra membuat kita saling mengerti akan pemikiran satu sama lain. Mungkin berawal dari kedekatan seperti itulah, untuk pertama kalinya aku berani menggenggam tanganmu pada sebuah malam konser universal yang pernah diadakan klub kita.

"Kau percaya takdir?" Tanyamu waktu itu.

"Pertanyaannya apakah kita sudah mencapai takdir itu?" Aku menatapmu.

"Bagaimana agar bisa kita sampai ke sana?" Kau bertanya lagi.

Aku tersenyum dan mengalihkan pandangan pada seorang pemain harpa di panggung, "Teruslah berjalan," kataku lembut. Kurasakan kepalamu bersandar di bahuku, dan genggaman kita semakin erat.

***

Aku memang mencintaimu begitu dalam pada akhirnya meski bayangan perasaan bersalah itu selalu muncul dibenakku, apalagi setiap ku menatap wajah cantikmu yang bersahaja, aku selalu menemukan cinta yang bijaksana pada ronanya. Aku mencintaimu dan tak ada yang bisa membantah semua itu.

Pada malam yang dipenuhi reuni bintang, kita rebah bersebelahan di atap mobilku, saat itu terpaan masalah dari keluarga kita telah terjadi. Kita dihinggapi kebimbangan dan nyaris putus asa, akan tetapi genggaman tangan itu menguatkan kembali cinta ini.

"Kita harus perjuangkan!" Kataku.

"Semoga saja..." Hanya itu yang terucap darimu.

Berkali-kali kita berjuang untuk hubungan ini, kerasnya keluarga kita tak mampu kita dobrak. Pada siapa lagi kita mencari kebenaran akan kisah kita? Kutemui ulama dan kau temui pendeta, tak ada yang benar-benar mampu menabahkan perasaan kita untuk menjauh. Hubungan kita semakin genting dan kita mulai dilarang untuk saling bertemu, entah mengapa saat itu orang tua kita memperlakukan kita sungguh kekanak-kanakkan? Terutama bagiku, aku tidak akan pernah bisa dilarang seperti ini. Aku melanggar semua apa yang telah orang tuaku tetapkan kepadaku. Aku mengalami cinta buta terhadapmu hingga sebuah kalimat yang kau baca pada paragraf awal tulisan ini terucap dari mulutku. Kau tampak kalut mendengarnya, tak ada yang kau lakukan selain memilih hening dalam bimbang. Kurasa kita harus mulai menyerah.

"Aku bukan menyerah, tapi kita memiliki Tuhan untuk berserah!" Katamu sebelum beranjak pergi.

"Tuhan memberitahu kita lewat isyarat yang sulit kita mengerti!" ujarku.

"Kalau begitu berusahalah untuk mengerti, selalu ada cara!"

"Bagaimana bila Dia sebenarnya tak ada? Dia hanyalah rekaan manusi karena adanya ketidak tahuan?"

Mendengar itu kau menghampiriku, menempelkan telapak tanganku tepat di jantungku, "Apakah jantungmu berbaterai?"

"Ayolah, baterai mana yang tahan selama dua puluh enam tahun?" Aku menyangka kau becanda untuk merubah suasana.

"Kalau begitu mengapa kau pertanyakan tentang keberadaanNya?" Ucapanmu begitu menghentak perasaanku.

"Kalau begitu, kenapa aku begitu mencintaimu jika akhirnya harus seperti ini?" Kakiku mulai lemas, aku berlutut di hadapanmu.

Perlahan kau menjatuhkan dirimu agar sejajar denganku kemudian memelukku, dalam waktu bersamaan air mata kita berderai. Untuk beberapa saat hanya sedu tangis yang terdengar memecah hening malam di taman itu.

"Selamat tinggal..." katamu.

Aku tak bisa menahanmu lagi, karena Tuhan telah menjauhkan apa yang tidak Ia kehendaki meski kita sangat menginginkannya. Hingga aku kini sadar, Tuhan adalah pemilik cinta yang hakiki, dan kita sebagai manusia harus tahu diri. 

Aku dan Cerita Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang