Kepingan Hati Enam

147 8 3
                                    

Devina Cinema

Dulu, kita selalu menghabiskan waktu berdua di rooftop gedung bekas supermarket milikmu ini. Hanya untuk tidur siang berdua di atas sofa merah panjang yang selalu kita masukkan saat hujan datang, menikmati wine di setiap perayaan kecil kita, membaca novel, bermain ular tangga atau memfoto refleksi lembayung senja yang tergenang di lantai selepas hujan singkat di musim kemarau. Ini tempat rahasia favorit kita berdua meskipun tak ada apapun di sini selain sofa merah itu dan sebuah meja kayu yang penuh dengan coretan impianku.

Aku ingin membuat film, aku ingin memiliki gedung workshop film, aku ingin memiliki perpustakaan film, aku ingin memiliki bioskopku sendiri, setidaknya itulah tulisan tanganku di meja kayu sakral kita. Di situ, kau tidak pernah menulis impianmu, walau akhirnya apa yang kau tulis nanti di meja itu, mewujudkan semua impianku. Terima kasih Devina.

***

Terlahir dari keluarga konglomerat ternama di Lampung dengan bisnis perkebunan hingga properti, kau nyaris memiliki apa yang kau inginkan. Kau bebas ingin liburan kemanapun, dari berbelanja di Milan atau bermain ski di Swiss, kau bisa mewujudknannya esok hari walau semua itu baru kau rencanakan malam ini. Kau memiliki kehidupan yang sempurna, dan aku beruntung bisa selalu bersama denganmu semenjak kita sama-sama di bangku SMA.

Masa SMA adalah masa-masa terbaik yang pernah kita miliki, aku ingat ketika kau terkadang kabur bersamaku sepulang sekolah lewat pintu belakang untuk mengelabuhi sopirmu. Kau memilih ikut bersamaku untuk menonton film di bioskop atau bermain di rumahku sembari membantu ibuku membuat kue untuk langganannya. Pernah pada suatu malam, kau mengendap-endap keluar dari rumahmu menemui aku yang menunggu di balik pagar tinggi rumahmu untuk pergi menonton layar tancap di lapangan dekat kampungku. Untuk gadis sepertimu yang memiliki segalanya dengan koleksi mobil mewah di garasinya, terkadang aku merasa malu ketika kau naik di boncengan motorku yang pastinya tak nyaman bagimu, namun pada malam itu kau mengatakan, "Aku suka naik motor berdua denganmu, aku bisa bebas menghirup udara, menikmati panas matahari di kulitku, meracau karena debu di jalanan atau bersuara dengan volume keras ketika kau bonceng agar kau mendengar suaraku. Aku merasa menemukan diriku yang sebenarnya!" itu ucapan berlebihan darimu, atau kau tidak berlebihan, kau memang senantiasa di desain untuk segala kemewahan dan fasilitas nomor wahid sehingga ketika kau menjadi rakyat biasa sepertiku, kau memiliki pengalaman hebatmu sendiri. Ku pikir lucu juga, ketika banyak orang sepertiku ingin menjadi sepertimu, kau malah ingin menjadi orang sepertiku, inikah sebuah antiklimaks di dunia?

Devina, aku ingat ketika kau mengalami masa hukuman dari Ayahmu karena kau yang membandel. Ya, menjalani kehidupan sepertiku merupakan hal yang tak wajar bagi keluargamu, kau dihukum tak boleh keluar rumah sendiri sepulang sekolah, kau seperti benar-benar dipenjara waktu itu. Kehidupanmu hanyalah sekolah, pulang lalu bimbel, sudah itu saja, tak ada kata main dalam kamus hidupmu dalam waktu tertentu itu. Pernah suatu ketika kau sekolah dengan pengawalan body guard sehingga aku tak berani dekat denganmu, kita hanya bisa saling lirik dan senyum tanpa bisa mengobrol seperti biasanya, aku tahu itu sungguh menyiksa bagi kita.

Masa hukumanmu berlangsung selama hampir dua bulan, setelah itu kau terbebas dari hukuman itu namun tetap saja kau tak sepenuhnya bebas. Kontrol terhadapmu dari orang tuamu lebih ketat sehingga kita jarang memiliki quality time, mungkin hal itulah yang merenggangkan hubungan kita menjelang kelulusan sekolah.

Meskipun begitu, momen terbaik dalam hubungan kita tercipta di malam prom nite saat kita menjadi pasangan walau kita tidak datang bersama. Mana boleh kau yang tampil dengan gaun mahal produksi Gucci itu naik motor denganku, kau datang di antar sopirmu dan kita bertemu di saat pesta dansa yang menjadikan kita pusat perhatian karena keserasian kita.

"Aku ingin kau menjadi pacarku!" kataku ketika lampu utama hanya menyorot kita yang tengah berdansa di antara teman-teman yang lain.

"Aku juga ingin kau jadi pacarku!" katamu sembari bersandar di dadaku, kukecup kepalamu kemudian. Meskipun cara kita menyatakan cinta tak romantis, tapi aku sadar bahwasanya yang utama dari cinta ialah komitmen, bukan romantisme.

Aku dan Cerita Patah HatiWhere stories live. Discover now