3. Cucu?

1.9K 246 50
                                    

Sejujurnya, pagi tadi saat bangun, aku sempat tidak menyadari jika mulai saat ini  ada orang lain yang akan selalu aku lihat setiap membuka mata. Lelaki dengan status suami yang sudah meminangku kemarin pagi.
Wajah damainya saat tertidur begitu berbeda dari yang pernah aku lihat beberapa waktu lalu.
Ya, mulutnya rapat. Tidak terbuka.

Mengingat kejadian semalam tentang kepasrahan yang Ale tunjukkan, membuat aku tidak lagi harus berdebat. Cukup mengingatkannya dan selanjutnya aku bisa tertidur. Itu saja.

Pagi pertama di rumah mertua harus mampu membuatku mengubah sedikit tingkah. Jika biasanya aku bangun setelah matahari meninggi, tidak untuk pagi ini.
Aku terbangun pukul tujuh. Bukan pagi memang. Tapi, setidaknya itu sebuah kemajuan yang aku lakukan. Mungkin kedua orangtua Ale juga akan memaklumi, terlebih kami adalah pengantin baru, kan?

Setelah bangun, aku menyingkap gorden dan membuka jendela. Kurasa, angin luar yang masuk akan membuat Ale terbangun dengan sendirinya. Setelah itu aku keluar untuk menyapa mertua baruku.

Oh ya, aku melakukan ini bukan karena ingin mengambil hati mertuaku. Namun, lebih kepada menjaga nama baik orangtuaku di mata mereka.


*****


Tinggal bersama mertua ternyata tidak begitu buruk. Biar pun aku selalu menjaga image di hadapan mereka, mereka selalu bisa membuatku nyaman. Tidak menuntut ini dan itu. Jauh dari perkiraan yang pernah terpikirkan dulu sebelum menikah.

Siang ini, selepas kami makan, ibu mertuaku mengatakan jika akan ada sepupu Ale yang tiba dari luar kota. Harusnya mereka tiba kemarin, tepat acara pernikahan. Tapi, karena suatu kendala, mereka baru bisa sampai hari ini.

Ibu mertuaku banyak bercerita tentang mereka yang akan datang kemari. Dulu, Ale dan sepupunya yang bernama Yuniza itu seperti tikus dan kucing. Selalu ribut walau masalah sepele. Kadang, Ale melakukan hal yang menyebabkan Yuniza menangis karena jengkel. Aku tidak bisa membayangkan betapa nakalnya Ale dulu. Aku berharap tingkahnya itu lepas dari pribadinya sekarang. Bukankah tidak lucu jika suatu saat aku akan menangis olehnya.
Menangis karena tingkah menyebalkannya itu.

" Al tuh gitu sayang. Kalo jailnya kumat, Icha selalu jadi sasaran. Soalnya kan Al anak tunggal. Kalo bukan sama Icha, sama siapa lagi, "
Icha itu panggilan Yuniza.

Kulihat Ale tersenyum menanggapi ucapan bundanya,
" Tapi itu semua ada sebabnya loh Bun. Icha tuh selalu pamer sama aku. Apa-apa yang baru selalu dikasih liat, ya aku sebel. Aku jailin aja sekalian, "

Aku berpikir sejenak. Ternyata Ale tipe pedendam. Maksudku, jika dia tidak menyukai suatu hal yang mengusik ketentraman hidupnya, dia tidak akan segan melakukan hal yang membuat hatinya puas. Apakah hal yang terjadi dalam perjalanan kehidupanku termasuk dendamnya?

Akan aku tanyakan nanti.

Kami kini mulai mengobrol di ruang tamu.
Bunda dan Ayah duduk di seberang kami yang dibatasi meja. Aku duduk bersama Ale yang menyender pada sofa dengan malas. Tangannya masih betah memegang ponsel. Mungkin sedang main game. Entahlah. Karena aku sedang memikirkan Yuniza yang katanya datang bersama suami dan anaknya.

Anak? Ya, dia menikah satu setengah tahun lalu. Nikah muda juga sepertinya. Anaknya kini berusia lima bulan. Pasti lucu.

Deru mobil terdengar beberapa saat sesudah bunyi berisik pintu pagar terbuka. Aku rasa, tamu yang kami tunggu sudah sampai.

Bunda dan ayah berdiri lalu berjalan menuju pintu yang sudah terbuka oleh asisten rumah tangga di sini. Dengan refleks aku ikut berdiri.

" Le, sepupu kamu kaya'nya udah dateng deh! " ucapku sambil melayangkan tatapan ke arah pintu. Kakiku mulai melangkah karena penasaran.

Mission 2 (✔)Onde histórias criam vida. Descubra agora