Apakah mereka pacaran? Jawabannya tidak, karena pasalnya, Fino bercerita padanya kalau ia sedang menyukai dokter seniornya sendiri di rumah sakit tempat ia melaksanakan koas.

"Yeu! Ngikutin mulu lo! Oh ya, lo siap buat malam ini?" tanya Fino.

Olivia mendengus. "Siap sih, tapi coach Magda masih nyuruh gue buat jalan yang bener dan jangan banyak melamun."

"Ngelamun mikirin doi right?" tanya Fino lagi, kali ini dengan nada menggoda di dalamnya. Tuhkan, setiap berbicara dengan Fino pasti topiknya tidak jauh dari Oliver.

Olivia menunduk sambil mengayun-ngayunkan kakinya. Ia memilih untuk diam, daripada menjawab pertanyaan Fino. "Ih malah diem. Ya udah gue nanya lagi, lo lagi pake mantel hitam yang gue kasih enggak?"

"Iya, emang kenapa?"

"Cek kantongnya, di situ ada surat Oliver yang sempat lo buang empat tahun lalu. Gue harap lo membacanya, karena sekarang lo berada di kota yang sama dengannya."

Nafasnya tercekat saat Fino mengatakan surat pemberian Oliver ada di dalam mantel yang ia kenakan. Dengan cepat, Olivia mengecek mantel pemberian Fino, dan benar saja ada sebuah amplop putih yang sudah lusuh akibat diremas seseorang. Ia memegangnya dengan tangan bergetar. Memejamkan mata, Olivia mencoba untuk tidak menangis. "Gue gak berani buka, karena itu bukan punya gue, jadi mending lo buka aja daripada penasaran hayo?" ujar Fino menggantung.

Olivia mematikan teleponnya. Ia menatap amplop putih itu dengan nanar. Dengan helaan napas yang dibilang berat, tangan Olivia mulai membuka amplop itu.

°°°°°

Oliver mengusap wajahnya dengan kasar. Ia bersandar pada bangkunya sembari memejamkan mata. Ia lelah. Membuka matanya kembali, Oliver mengambil gagang telepon dan menelepon sekretarisnya. "Haruka, cepat kemari. Ada yang ingin aku bicarakan," ujarnya to the point menggunakan bahasa Jepang.

Lelaki itu menatap layar komputernya, dan melihat desain pakaian yang dibuat oleh divisinya. Sungguh, tidak bisakah mereka menggambar dengan baik? Oliver menyuruh mereka untuk membuat desain pakaian musim dingin untuk karakter game terbarunya. Tetapi desain itu, tidak cocok sama sekali dengan karakter game yang Oliver buat.

Seorang wanita ber-hak tinggi langsung masuk tanpa mengetuk pintu, ditangannya ada beberapa berkas-berkas. "Ada apa Oliver?"

Oliver menunjukkan layar komputernya pada Haruka. "Pakaian itu tidak cocok untuk karakter Olivia di game-ku. Mengapa divisi desain disini buruk sekali?"

Haruka menaruh berkasnya pada meja Oliver, ia melipat kedua tangannya dan mengamati layar komputer Oliver yang menampilkan karakter perempuan tiga dimensi dengan berciri rambut dikuncir kuda, dan di punggungnya tersedia panah beserta pedang yang digunakan oleh karakter itu untuk membunuh musuh. "Kemarikan tab-mu," ujar Haruka sebal.

Oliver memberikan tab yang ia pegang pada gadis sipit itu. Matanya melihat tangan Haruka yang sibuk menyentuh tab-nya. "Lihat itu, menurutku divisi bagian desain sudah melakukan yang terbaik. Apanya yang masih kurang?" tanya Haruka yang memperbesar karakter Olivia.

"Bajunya tidak cocok."

"Lalu kau mau apa? Menyuruh divisi desain untuk mengulang pekerjaannya lagi?"

Oliver menggeleng cepat.

Haruka mendengus. Ia sebal akan perilaku bos-nya yang selalu perfeksionis. Bayangkan saja, Haruka telah menyuruh divisi bagian desain untuk membuat baju karakter Olivia sebanyak 5 kali! Tapi, Oliver tetap tidak suka. Mungkin ini efek akibat Oliver belum bisa melupakan Olivia.

Meet In the Real LifeWhere stories live. Discover now