34. Passed Out

31.3K 4.3K 1.3K
                                    

Empat tahun kemudian...

"Olivia! Bengkokkan kaki kirimu sedikit!" suruh wanita berumur empatpuluh lima tahun dengan tegas.

Merasa terpanggil, Olivia cepat-cepat membengkokkan kaki kirinya seperti yang diperintahkan coach Magda. Ia berlenggak-lenggok di atas stage sembari memberikan ekspresi yang sesuai dengan baju yang dikenakannya. "Yap, cukup! Next!" teriak Magda menunjuk model lainnya untuk melakukan hal serupa seperti Olivia.

Olivia menghela napas lega. Ia turun dari stage sembari melepas sepatu heels yang dikenakannya. Sialan, sepatu heels yang dikenakannya itu memiliki ukuran yang tinggi, siapa yang tidak kesakitan memakainya? Olivia tahu ini lebay tapi demi apapun, ia benci menggunakan heels. Kalau saja, bukan tuntutan pekerjaan, Olivia tidak akan memakainya.

Kini, empat tahun sudah berlalu. Setelah lelaki brengsek yang tidak ingin Olivia sebutkan namanya, meninggalkannya. Ia lebih memilih untuk berfokus pada kuliahnya hingga akhirnya mendapatkan gelar S-1. Kemudian setelah lulus, ia ditawari oleh agensi model fashion ternama saat dirinya sedang berlari pagi bersama Bundanya.

Jujur, awalnya Olivia tidak mau. Tapi, Bundanya memaksa dengan beralasan, kalau ia bekerja nanti, akan dapat uang. Dan uang hasil jerih payahnya itu dapat digunakan untuk menonton konser. Kan lumayan, jadi ia tidak harus meminta uang pada Dinda lagi. Maka dari itu, Olivia menerima tawaran agensi, dan melakukan sekolah modelling selama tiga bulan.

Ia merasa salah jurusan selama ini. Berkuliah dengan jurusan sastra, dan berakhir menjadi model. Lain kali, jika kalian hendak kuliah, berpikirlah dua kali agar tidak seperti Olivia.

Lamunan Olivia tersadarkan kalau saja coach Magda tidak memegang pundaknya. "Kau harus banyak latihan lagi, Olivia. Jangan banyak melamun, dan perhatikan langkah kakimu. Ingatlah! Malam ini kau akan berjalan di catwalk Japan Fashion Week! Jangan memalukan negaramu sendiri, ingat itu?" ujarnya sambil tersenyum.

Bisa dibilang, coach Magda adalah wanita yang melatihnya hingga ia bisa seperti ini, dan wanita itu lebih suka bicara menggunakan bahasa baku, ketimbang bahasa sehari-hari. Mendengar ucapan pelatihnya, Olivia menghela napas dan mengangguk. "Oke, coach."

"Sekarang, kau bisa beristirahat. Nikmatilah musim dingin yang ada di Tokyo ini. Telepon Ibumu dan beri tahu dia mengenai apa saja yang sudah kau lakukan di sini."

Lagi-lagi, Olivia mengangguk. Saat hendak keluar, Olivia baru ingat kalau sekarang musim dingin. Maka dari itu, ia mengambil mantel tebalnya, dan memakai sepatu sneaker putih.

Helaan napasnya menimbulkan asap dari mulutnya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam mantel, dan mulai melangkahkan kaki. Matanya menangkap para penduduk yang sedang berbincang-bincang, bersenda gurau, bahkan ada yang sibuk menelepon dengan ponselnya sendiri.

Menurut Olivia, itu semua hal yang wajar ketika ia tahu kalau orang-orang Jepang biasanya adalah orang yang gila bekerja. Ia melihat bangku taman yang kosong, dan mencoba untuk kesana.

Sesampainya disana, Olivia membersihkan salju yang ada pada bangku dan terduduk dengan termenung. Kini, ia berada di satu negara yang sama dengan Oliver. Ia takut. Ia takut bertemu lelaki itu. Sudah empat tahun lamanya Olivia tidak mengetahui kabar lelaki itu, Fino pun sudah berusaha untuk memberi kabar mengenai Oliver padanya, namun Olivia menolak. Dengan alasan, ia akan membenci Fino seperti ia membenci Oliver kalau saja lelaki itu memberitahunya.

Ya, mendengar hal itu Fino pun hanya bisa pasrah. Tapi, apabila ia sedang mengobrol dengan Olivia, pasti Fino sering mengungkit tentang Oliver.

Getaran pada ponsel Olivia, membuat dirinya kaget dan segera mengangkatnya saat melihat nama Dafino muncul di layarnya. "Yeoboseyo?" sahut Olivia sambil tersenyum. Namun, tak lama ia tertawa sendiri saat mendengar aksennya yang aneh. Semenjak Oliver meninggalkannya, hanya Fino yang bisa membuat Olivia bangkit dari keterpurukannya.

Meet In the Real LifeWhere stories live. Discover now