Bab 13 - Api

5K 615 12
                                    

     Kadang, punya bos yang merupakan teman baik sendiri, jadi hal yang menjengkelkan untuk Tita. Bukan karena Arbie jadi semena-mena, memberikannya tugas ini-itu. Tapi, lebih kepada rasa terjebak. Ia akan jadi orang pertama yang ditanya-tanya oleh rekan kerjanya yang lain, alias bawahannya Arbie, jika lelaki itu bersikap lain dari biasanya. Contohnya, uring-uringan tak menentu seperti sekarang.

     "Seinget gue lo baru dua hari yang lalu balik bulan madu. Kemarin juga masih nyengir enggak berhenti. Hari ini kenapa cranky banget, sih?"

     Arbie melirik Tita malas. "Bisa enggak, masuk ruangan ketok dulu?"

     "Tuh, kan!" seru Tita. "Biasanya gue ngeloyor keluar masuk juga lo enggak masalah." Mengabaikan delikan Arbie, ia menghempaskan tubuh di kursi yang berseberangan dengan lelaki itu. "Enggak dapat jatah dari Faine?"

     "Astaga, Tita!"

     "Bukan itu? Terus kenapa?"

     Kertas di tangan Arbie dilemparkannya begitu saja ke meja. Ia mendesah gemas seraya memijit pelipis. "Lo kalau ngambek, pengennya diapain, Ta?"

     Tawa Tita menyembur. "Baru lima hari nikah dan lo udah diambek sama Faine?"

     Arbie berusaha mengabaikan nada mengejek Tita. Dua hari ini ia dibuat kebingungan setengah mati akan tingkah Faine. Padahal, rasa-rasanya kemarin gadis itu masih bersikap biasa saja terhadapnya. Bahkan tidak memprotes ketika terjaga di pagi hari dalam pelukan Arbie. Tapi sejak semalam Faine seolah menjaga jarak. Bahkan pagi tadi, gadis itu berangkat ke kantor lebih cepat, meninggalkan Arbie yang tidak sempat protes maupun bertanya. Sehingga, pada akhirnya Arbie hanya dapat menyimpulkan kalau Faine tidak menyukai kelancangannya memeluk gadis itu.

     "Abis lo apain emang Faine?" Tita menumpukan kedua lengannya ke atas meja, mencondongkan dirinya ke arah Arbie. Bibirnya melengkung penuh makna.

     "Lo sangat tidak membantu ya, Ta," gerutu Arbie. Ia menggeleng pelan, memberi tanda bahwa tidak ingin meneruskan percakapan. Kembali diraihnya kertas-kertas laporan, menekuninya satu per satu.

     Tingkah Arbie tersebut tidak membuat Tita merasa diusir. Ia malah terkikik, habis-habisan menertawai Arbie. Puas tertawa, ia baru buka suara. "Tanya sama Diana coba. Siapa tau bini lo tersayang ada cerita sama temennya itu."

     Bola mata Arbie bergerak perlahan, kembali menatap Tita.

     "Nah, punya otak pintar, dipakai makanya, Bos," ejek Tita seraya berlalu keluar ruangan Arbie.

***

     Diana sedang asyik memandangi pintu ruangan Steve ketika merasa getaran dari saku kulot putih yang dikenakannya. Masih dengan netra menancap di sana, ia merogoh saku, menarik keluar ponsel pintar dari dalamnya. Dengan enggan ia mengalihkan pandangan ke layar. Melihat nama Arbie yang tertera, fokusnya beralih sepenuhnya pada benda elektronik tersebut.

Sorry ganggu, Di. Mau tanya, di kantor Faine lagi ada masalah?

     Suara pintu terbuka menahan jemari Diana untuk mengetik balasan ke Arbie. Melihat sosok Faine yang melangkah keluar dari ruang kerja Steve, ia langsung bangkit berdiri. Dengan langkah lebar dihampirinya Faine. Kemudian, sedikit memaksa, ditariknya temannya itu untuk keluar dari ruang kerja, menuju tangga darurat.

     "Apa sih, Di?" protes Faine, menarik lengannya lepas dari cengkeraman Diana. Menggunakan tangan satunya, ia mengusap bagian bekas cekalan Diana.

     "Lo ngapain sama Steve barusan?"

     "Nyerahin laporan. Apalagi coba?" sahut Faine dengan alis bertaut. "Kenapa, sih?"

It's Always Been You [Selesai] [Telah Terbit di Haebara Publisher/Haeba Group]Where stories live. Discover now