Bab 6 - Kejutan

6.3K 639 7
                                    

     Rasanya seperti gempa. Hari Minggu pagi itu Faine terjaga karena keributan Mama. Separuh berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih terpencar, Faine dipaksa wanita itu untuk masuk kamar mandi. Setengah sadar, Faine mengguyurkan air ke sekujur tubuhnya, menyapukan sabun ala kadarnya, kemudian membilasnya hingga bersih.

     Keluar dari kamar mandi, ia diharuskan mengenakan gaun warna peach yang biasanya hanya ia kenakan jika terpaksa menemani Mama ke kondangan. Tak cukup sampai situ, ia juga harus merelakan Mama mendandaninya. Bahkan rambut yang biasa ia kuncir kuda, kini dibiarkan terurai, dengan sebuah jepit putih tersemat di atas telinga kirinya.

     Semua tanda tanya di kepala Faine terjawab saat matanya menangkap sosok Arbie yang duduk di ruang tamu, bersama dengan Kafin dan Ravina.

     "Nah, ini Fainenya," kata Mama sambil menarik Faine.

     Faine menatap bingung pada tiga orang tersebut. Ia tidak ingat pernah mendengar bahwa Kafin dan istrinya berencana datang akhir pekan ini. Terlebih, datang bersama Arbie.

     Kilasan dalam mobil Arbie tempo hari tiba-tiba muncul di benak Faine. Perlahan, rasa curiga sekaligus ngeri menyergapnya. Dia enggak serius soal nikahin gue, kan?

     "Saya berniat melamar Faine, Tante."

     "Hah?!" Rahang bawah Faine jatuh bebas. Netranya memandang tidak percaya pada Arbie. Udah gila ya?

     "Fai punya pacar kok enggak pernah ngasih tahu Mama, sih?"

     Faine beralih pada Mama. Kepalanya menggeleng kuat-kuat. Namun, lidahnya mendadak kelu hingga tidak mampu mengeluarkan satu kata pun untuk membantah.

     Jangankan pacaran, ia bahkan tidak begitu mengenal pria yang tengah melempar senyum padanya itu. Walaupun ini bukan pertemuan pertamanya dengan Arbie, Faine hanya tahu sebatas nama dan wajah, tidak lebih. Tidak pernah ada interaksi berarti yang pernah terjadi di antara mereka... kecuali kegilaan yang belakangan ini menimpa Faine.

     Tapi, menikah?!

     "Kalian kayaknya belum ada bahasan soal pernikahan ya? Fai sampai kaget banget kayak gini," Mama berujar, menatap putri bungsunya menggoda.

     "Ma, kita tuh enggak—"

     "Fai suka menghindar, Tante, kalau saya bahas soal nikah," sela Arbie, menatap Mama penuh kesungguhan. Ia melirik Faine singkat, dan hampir tertawa ketika mendapati reaksi gadis itu yang membelalak tidak percaya.

     "Oh, gitu?"

     Faine menelan ludah. Respon Mama barusan mungkin terdengar biasa saja. Tapi, ia lebih dari sekadar paham bahwa arti yang sebenarnya adalah, "Umur kamu udah dua puluh lima, Fai!"

     Mama berdeham singkat. Pandangannya lurus pada 'pacar' putrinya. "Tante setuju, selama Faine bersedia. Mungkin, akhir pekan depan kamu bisa ajak orang tuamu untuk ketemu Tante?"

     "Ma!" protes Faine. Dengan ngeri ia memandang dua manusia yang mengobrol seolah dirinya mendadak tak kasatmata. Mengalihkan pandangan pada Kafin untuk meminta pertolongan, Faine seketika paham bahwa harapannya tidak akan jadi kenyataan. Ia tahu kakaknya itu ada di pihak mana.

***

"Lo gila?"

     Setelah bercerita panjang lebar, respons tersebut yang diberikan Diana pada Faine. "Gue masih waras nih, untungnya," sahut Faine jengkel. "Di, yang bener aja dong, gue lagi curhat lo katain gila. Tuh, yang gila si Arbie!"

     Diana terbahak. "I love him!"

     "Kalau gitu, lo aja yang nikah sama dia," gerutu Faine.

     Faine membuang pandangannya ke anak tangga darurat. Rasanya sedikit konyol mengingat tempatnya berada kini, dulu ia datangi bersama dengan Steve. Sekarang ia justru datang bersama Diana. Bahkan, topik yang jadi pembicaraan bukan lelaki brengsek itu, melainkan Arbie.

     "Tapi dia gila banget sih, Di," komentar Faine. "Kenal sama gue aja enggak, masa tau-tau ngelamar gue?" Ia lantas bergidik. "Jangan-jangan dia ada niat buruk ke gue. Siapa tau abis nikah dia mau ngejual organ-organ dalam gue—"

     "Heh!" sela Diana. "Negative thinking aja ini orang! Lagian ya, Fai, jarang-jarang ada laki yang mau ngajuin komitmen duluan macam Arbie," ujar Diana. Seumur hidup Diana, berkali-kali pacaran, sembilan puluh persen dari mantan-mantannya akan lari terbirit-birit bila sudah menyangkut urusan komitmen. Bahkan kekasihnya saat ini, yang sudah ia pacari sejak setahun belakangan, masih mengelak setiap ia tanyakan soal komitmen.

     Diana melirik Faine. Menurutnya, temannya itu luar biasa beruntung. Awalnya ia curiga Arbie jatuh cinta pada pandangan pertama pada Faine ketika di A Plus kala itu. Namun, setelah pertemuan keduanya di pesta pernikahan Steve, kecurigaan Diana sedikit berubah. Mengingat Arbie ternyata adalah teman baik Kafin, kakaknya Faine. Belum lagi betapa perhatiannya Arbie ketika Diana memberitahu mengenai kelakuan Faine yang bak zombie. Yang tidak ia sangka adalah, laki-laki itu punya keberanian cukup besar sampai mendatangi orang tua Faine.

     "Tapi, Di, aneh tau, masa dia tiba-tiba ngelamar gue? Dia sendiri juga tau soal gue sama Steve ...."

     Diana bersedekap. Segaris senyum usil terbit di bibirnya. "Nyari kesempatan tuh orang. Secara ya, lo lagi patah hati, potek-potek sampai—"

     "Di, gue serius nih!" sela Faine sebal.

     Diana terkikik. "Darling, laki itu kalau udah berani ngedatengin orang tua kita perempuan nih, udah paling mantep deh! Dari hati tuh dia!"

     Faine mengerutkan kening. Masih tidak percaya dengan kata-kata Diana yang lebih banyak bercandanya itu. "Terus, kalau entar di tengah jalan dia nyeraiin gue? Ngejanda dong gue!"

     "Ya lo bawa ke pinggir jalan, biar dia enggak nyeraiin lo. Simpel kan—aduh!" Diana meringis memegangi kepalanya yang ditoyor Faine.

     "Garing! Balik sana ke meja lo!" usir Faine.

     "Lo enggak inget betapa sintingnya kakak lo yang ganteng itu?" Diana tertawa geli, masih bertahan di posisinya.

     Faine mendelik. "Lo barusan ngehina Kafin? Dia emang sinting tapi dia kakak gue, dan cuma gue yang boleh ngatain dia. Oke?"

     "Maksud gue," Diana menatap Faine dengan gemas, "kakak lo itu pasti enggak akan diam aja kalau sampai Arbie aneh-aneh. Lo punya mulut buat ngadu ke kakak lo. Yah, walaupun tanpa lo ngadu pun, gue yakin Kafin bakalan tau."

     Mau tak mau Faine tertawa. Yang diucapkan Diana seratus persen tepat.

     "Jadi, nunggu apalagi sih, Say? Ada pangeran kodok superhot datang ngelamar lo. Jangan sia-siain kesempatan ini. Lo enggak akan tau kapan kesempatan kayak gini bakal datang lagi. Bisa aja nanti pas lo udah nenek-nenek—iya, iya ampun, stop throwing things at me! Dasar barbar!" Diana melejit kabur dari kubikel Faine sebelum lebih banyak barang-barang di meja Faine melayang padanya.

     Faine menghela napas. Curhat pada Diana memang tidak akan memakan waktu yang sebentar. Temannya itu kadang bisa jadi sangat menyebalkan. Meski begitu, walau kadang tidak solutif, selalu berhasil menenangkan hatinya.

     "Fai," panggil Diana dari balik kubikelnya. "Lagian, emang lo enggak mau bahagia gitu? Betah banget ngegalauin Steve. Gue yakin dia bahkan udah enggak peduli. Kenapa nggak lo cari kebahagiaan lo sendiri dan tunjukkan ke Steve kalau lo juga bisa bahagia, bahkan tanpa dia."

- - -

It's Always Been You [Selesai] [Telah Terbit di Haebara Publisher/Haeba Group]Where stories live. Discover now