Bab 8 - Sebuah Kegilaan

5.5K 688 10
                                    

     Kabar pernikahan Faine menyebar begitu saja. Bahkan bukan hanya manusia di bagian keuangan saja yang tahu. Kemungkinan pelakunya hanya ada dua: Diana atau Steve. Tersangka yang jadi pilihan Faine jelas Diana. Ia tidak mungkin segila itu mendatangi Steve dan marah-marah ke bosnya itu, tanpa membawa bukti nyata. Bisa-bisa sumber pundi-pundi kehidupannya lenyap dalam sekejap.

     "Dinding kantor punya kuping, Fai. Lo enggak tau ya?" kilah Diana ngaco ketika Faine mengonfrontasinya. Faktanya, memang dia biang keroknya. Sengaja, supaya Faine tidak maju-mundur tidak jelas. Sekalian juga, supaya Steve tidak mengusik Faine lagi.

     Gosip yang melibatkan Faine semakin diperparah dengan kemunculan Arbie di dekat pintu gedung kantor, setiap hari, saat jam makan siang. Sosok lelaki itu langsung dikaitkan dengan Faine. Dengan cepat, tanpa perlu repot-repot mengumumkan, orang-orang satu kantornya tahu lelaki mana yang jadi 'calon suami Faine'.

     Telanjur basah, Faine hanya bisa mengikuti kekonyolan yang ia perbuat. Ia manut saja mengekori Arbie ke tempat pilihan lelaki itu untuk makan siang. Setiap kali itu pula, Diana mengekor. Bukannya membantu Faine untuk menyelesaikan kekacauan, temannya itu justru membuat Faine makin resah.

     "Besok udah weekend, Di. Gue harus gimana dong?" bisik Faine begitu Arbie meninggalkan meja mereka untuk memesan makanan.

     "Gue penasaran deh, Fai. Sebenernya yang bikin lo ketar-ketir tuh karena kaget Arbie buru-buru, atau karena masih nyimpen ... Steve?"

     Faine mengerjap cepat. Lidahnya mendadak kelu, hingga hanya bisa membisu selama beberapa saat. Ketika akhirnya kembali menemukan suaranya, Faine berujar, "Dia udah punya bini, Di. Jangan dibahas lagi." Dan gue harusnya udah move on dari dia, sesal Faine dalam hati

     "Nah, ya udah, lo sama Arbie aja."

     Dari sekian banyak orang, Diana yang paling kompor. Rasanya Faine ingin mengunci temannya itu di dalam lemari supaya tidak berisik.

     "Tuh lihat, di mana lagi lo bisa nemuin laki macam Arbie? Sopan, sweet, tajir, ganteng, plus body-nya—"

     "Stop!" sela Faine.

     "Akuin aja, doi superhot begitu."

     Untuk yang satu itu, Faine terpaksa mengakuinya. Dibandingkan Steve yang cenderung kurus dan mengkhawatirkan jika diterpa angin, tubuh Arbie memang terlihat lebih tahan banting. Sender-able banget.

     "Coba bayangin kalau lo jadi istrinya. Puas lo tiap hari melukin tuh badan, enggak perlu guling lagi!"

     "Diana!" Faine menoyor Diana, malu mendengarnya. "Kayaknya yang harus nikah duluan lo deh. Udah ngebet banget gitu," ejek Faine.

     Diana manyun. "Sayangnya cowok gue belum mau tuh."

     Tawa geli Faine kontan meluncur. Kisah percintaannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan milik Diana. Mantan yang dimiliki temannya itu cukup untuk membuat kesebelasan sepak bola, lengkap dengan pemain cadangannya. Sayangnya, tidak ada satu pun yang berakhir bahagia. Ada saja alasan yang diterima Diana tiap kali pacarnya minta bubar jalan.

     Beberapa saat kemudian Arbie kembali dengan satu nampan. Di atasnya terdapat piring-piring berisi batagor, siomay, dan ketoprak. Kedatangannya membuat obrolan Faine dan Diana terputus.

     "Seru banget sih ngobrolnya? Ini makanannya udah datang," katanya seraya meletakkan batagor di depan Diana, siomay di hadapan Faine dan ketoprak untuknya sendiri. Nampan ia letakkan begitu saja di bawah kursi, kemudian ia mendudukkan diri. "Ngobrolin apa?" tanyanya sambil mengaduk makan siangnya agar bumbu kacang tercampur rata.

It's Always Been You [Selesai] [Telah Terbit di Haebara Publisher/Haeba Group]Where stories live. Discover now