Bab 12 - Tuan Penggoda

4.8K 620 18
                                    

     Sudah sejak beberapa menit belakangan, hanya tawa Diana yang memenuhi seisi gendang telinga Faine. Temannya itu bahkan sampai memukul-mukul meja kerja Faine dengan heboh. Untung saja tidak ada orang lain selain mereka, karena yang lainnya sedang pergi makan siang.

     "Gue enggak tau itu laki mikir apaan dalam kepalanya," kata Faine, menyudahi sesi curhatnya. Ia baru saja selesai membeberkan aktivitasnya selama di Bali tiga hari kemarin. Termasuk rasa sebalnya pada Arbie perkara urusan tamu bulanan.

     Diana mengambil tisu yang tersedia di sudut meja Faine. Menggunakan benda tersebut, ia mengusap sudut matanya yang berair. Tawanya sudah tidak lagi terdengar, namun masih ada sisa-sisa rasa geli yang terpampang di wajahnya.

     "Enggak salah lo nikah sama dia, Fai. Hidup lo enggak bakal flat," komentar Diana. "Jadi, gimana, udah ngerasain sesuatu yang lain buat Arbie?" Ia menyeringai.

     "Udah gila ya?"

     Diana kembali terkekeh. "Despite kekonyolannya, emang lo enggak merasa dia perhatian banget sama lo?"

     Perhatian?

     Faine menggeleng cepat. Yang membekas di kepalanya hanya kejadian di hari pertama. Karena dua hari berikutnya, ia dan Arbie hanya berdiam di penginapan. Faine lebih banyak tidur karena tubuhnya serasa rontok berkat si tamu bulanan. Arbie sendiri, seingat Faine, sibuk dengan gawainya.

     "Tapi ya, Fai, dari cerita lo aja gue bisa ngerasa kalau Arbie seperhatian itu sama lo," kata Diana. "Dibandingkan Steve, lebih perhatian Arbie, kan?"

     "Jangan mulai," sahut Faine malas. Ia mencomot satu donat dalam wadah kertas yang pagi tadi dibelinya dalam perjalanan menuju kantor. Untung saja makanan manis tersebut dibelinya setengah lusin, karena ternyata siang harinya ia tidak turun ke bawah untuk makan siang, demi meladeni Diana dan segala rasa ingin tahu temannya itu.

     Diana mengikuti Faine. "Ada berita panas, Fai, soal manusia satu itu." Ia menggigit donat warna cokelat miliknya.

     "Siapa?"

     Belum ada Diana menjawab rasa penasaran Faine, keributan dari luar mengalihkan perhatiannya. Bahkan, rahangnya sampai berhenti mengunyah saking terkejutnya. Selama sesaat, ia dan Faine saling pandang.

     "Gue rasa lo harus liat sendiri, Fai." Membawa serta donat di tangan, Diana bangkit dari kursi. Dengan langkah sehening mungkin, ia menghampiri pintu.

     "Suara apaan sih, Di, barusan?" Faine yang mengekori Diana berbisik penasaran. Ia menjulurkan kepala ke arah celah pintu yang dibuka oleh Diana.

     "Berita panas yang gue maksud," Diana mengedikkan kepalanya ke dua orang manusia yang masih adu mulut beberapa meter dari pintu, "Steve ribut-ribut sama bininya. Di kantor. Dua hari yang lalu."

     "Di koridor?!"

     Diana menggeleng. "Di ruangan Steve. Sampai banting-banting benda segala. Huru-hara."

     Faine meringis. Di lantai, beberapa sentimeter dari kaki istri Steve, Faine bisa melihat ada peranti elektronik yang tercerai berai. Badan gawai tersebut terpisah dengan baterai juga casing penutup bagian belakangnya. Sementara dua manusia itu tampak tidak peduli, terlalu larut dalam aksi adu mulut.

     Sudut-sudut bibir Faine terangkat. Mungkin ia bukan orang yang senang menyaksikan keributan. Tapi, kalau pelakunya adalah Steve dan istri lelaki itu, beda cerita.

***

     Arbie meraih remot televisi, memencet tombol pengecil suara. Ruang tamu rumahnya kini sedikit lebih sunyi. Ia lalu melirik ke arah Faine yang asyik senyum-senyum.

     "Ada hal baik yang terjadi hari ini?"

     Faine menoleh. "Hal baik?" ulangnya.

     "Iya. Habisnya kamu senyum-senyum terus dari tadi."

     Tanpa pikir dua kali, Faine mengangguk. Menyaksikan Steve ribut-ribut dengan istri tentu membuatnya girang bukan main. Bahkan kalau bisa, Faine berharap pasangan tersebut bubar jalan. Ia ingin Steve merasa sakit. Terserah untuk alasan apa. Selama rasa itu mendera Steve, Faine sudah puas.

     "Mau cerita?"

     Faine meringis. Ia pasti sudah gila kalau membeberkan alasan rasa senangnya pada Arbie. Bahkan, pada Diana saja ia tidak menyatakannya.

     "Kerjaanku santai. Padahal tadinya kupikir karena ambil cuti, pas balik kerja jadi sibuk. Ternyata enggak," dusta Faine. Tidak seratus persen berbohong. Kalimat yang barusan ia ucapkan sama sekali bukan bohong belaka. Tapi, jelas bukan hal tersebut yang membuatnya senyum-senyum.

     "Syukurlah." Arbie mengulas senyum. "Aku sempet khawatir kamu bakal capek, setelah dari Bali langsung masuk kerja."

     "Aku enggak selemah itu," protes Faine. Ia bangkit dari posisinya di kursi malas, menuju dapur.

     Arbie menyaksikan pergerakan Faine dengan cermat. Senyumnya masih setia terukir di bibir. Ada rasa hangat yang memenuhi hatinya tatkala melihat Faine yang tidak lagi canggung berkeliaran di rumahnya. Rumah mereka, tepatnya.

     "Kamu masih mau nonton teve?" Faine meraih gelas di meja, meneguk isinya hingga tandas. Ia lalu menatap kembali pada Arbie. "Kalau kamu masih belum ngantuk, aku tidur duluan ya."

     Meninggalkan Arbie yang tidak kunjung menyahut, Faine melangkah menuju kamar di sisi kanan ruang tengah. Kamarnya dan Arbie. Ukurannya empat kali empat meter. Selain ranjang berkapasitas dua orang, hanya ada lemari pakaian serta pendingin ruangan yang ditempel di dinding atas.

     Selain kamar tersebut, masih ada satu kamar lain. Faine bisa saja menggunakannya, kalau saja Arbie tidak keburu mengubahnya menjadi ruang kerja. Jadi, mau tak mau ia harus membiasakan diri berbagi ranjang dengan Arbie.

     Faine membiarkan lampu menyala. Ia bukan tipe yang bisa tidur dengan suasana remang-remang, apalagi gelap. Berbeda dengan Arbie yang terbiasa tidur dengan semua lampu padam—hal yang diketahui Faine setelah menghabiskan empat malam tidur satu kamar dengannya.

     Setengah jam kemudian Arbie menyusul. Pergerakannya dibuat setenang mungkin agar tidak mengganggu tidur Faine. Pencahayaan dipadamkannya, sebelum kemudian beranjak ke ranjang. Bobot tubuhnya seketika membuat kasur melesak. Masih dengan gerakan pelan, ia ikut berbaring di sebelah Faine. Kemudian, dengan perlahan dilingkarkannya lengan ke tubuh gadis itu, menariknya masuk dalam pelukan.

***

     Faine sedang sibuk menggelengkan kepalanya, berusaha menepis Arbie dari benak, ketika Steve tiba-tiba saja muncul. Bayangan lengan Arbie yang melingkari pinggangnya pagi tadi, langsung menguap begitu saja dari pikiran Faine.

     "Tumben udah datang," sapa Steve. "Enggak berangkat bareng suami?"

     "Saya bukan perempuan manja, Mas Steve," sahut Faine. "Bahkan waktu dulu saya dekat dengan satu orang, tanpa kejelasan apa-apa, saya enggak pernah menuntut," sindirnya.

     Ekspresi wajah Steve langsung berubah. Melihatnya, Faine bersorak dalam hati. Ada kesenangan tersendiri karena berhasil menyindir lelaki itu. Ia mendadak menyesal, harusnya sejak dulu ia lakukan hal tersebut. Kalau saja ia lakukan, mungkin ia tidak akan terjebak dalam hubungan tanpa status dengan Steve, lalu berujung patah hati.

     "Kamu juga tau-tau aja menikah dengan suami kamu," balas Steve. "Jangan-jangan dia yang jadi alasan kamu enggak pernah menuntut kejelasan dari aku?"

     Mata Faine membulat. Rahang bawahnya jatuh bebas, membuatnya menganga.

     "Kamu barusan nuduh aku?" tanya Faine tak percaya. Ia bangkit dari kursi. Sebelum otaknya sempat berpikir dua kali, ia sudah melangkah menghampiri Steve yang berdiri dekat pintu masuk.

     "Kalau bukan itu, kenapa kamu tiba-tiba nikah sama dia?"

     "Kamu juga mendadak nikah sama perempuan lain!" bentak Faine. dari jarak satu meter, dipandanginya manik mata Steve. "Bisa-bisanya kamu nuduh aku kayak gitu."

     Steve mengikis jarak. "Kalau gitu, apa itu berarti masih ada aku di hati kamu?"

- - -

It's Always Been You [Selesai] [Telah Terbit di Haebara Publisher/Haeba Group]Where stories live. Discover now