Bab 9 - Usaha Tanpa Akhir

4.6K 653 10
                                    

     Kalau saja mencari pekerjaan semudah membalik telapak tangan, Faine pasti sudah melayangkan surat resign-nya pada Steve. Kesabarannya benar-benar diuji. Makin hari kelakuan pria satu itu semakin menjengkelkan. Ada saja hal yang ia kritik.

     "Mas Steve abis nikah jadi rese ya. Mendingan dia ngebujang aja deh, daripada jadi bos monster macam sekarang."

     Faine melirik singkat pada sumber suara. Ucapan barusan berasal dari mulut rekan kerjanya yang baru saja keluar dari ruangan Steve. Seharian ini sudah lebih dari tiga kali gadis itu dipanggil ke sana, dan setelahnya keluar dengan repetan serupa.

     Dari sisi kanannya, Faine bisa mendengar gesekan roda kursi dengan lantai. Tanpa perlu menoleh, Faine tahu Diana yang jadi pelakunya. Temannya itu tanpa permisi masuk ke wilayahnya yang mungil.

     "Gue rasa sebentar lagi anak-anak bakalan bikin tabel 'Jadwal Dimarahin Mas Steve'," bisik Diana begitu kursinya menempel dengan tempat Faine duduk.

     Mau tak mau Faine terkikik. Ia tidak akan heran bila hal yang diucapkan Diana barusan menjadi kenyataan. Steve dan hobi barunya sejak satu minggu yang lalu—marah-marah—memang kelewat meresahkan. Tepatnya, sejak hari Faine mengatakan dengan lantang bahwa ia akan menikah dengan Arbie.

     "Mungkin enggak sih dia kesel karena gue mau nikah?" gumam Faine tanpa sadar.

     "Heh, katanya udah jadi suami orang." Diana menoyor Faine. "Masih ngarep lo ya?"

     "Enggak!" sergah Faine keras. Ia buru-buru merundukkan kepalanya, menghindari tatapan rekan kerjanya yang lain. "Kata siapa gue masih ngarep?" desisnya pada Diana.

     Bola mata Diana memutar malas. "Apa sih yang lo lihat dari Steve—"

     "Sst!" Faine membekap mulut Diana panik. Dipelototinya temannya itu. "Ember banget mulut lo, asli!"

     Diana menepis tangan Faine. Gantian ia yang memelotot. "Make up gue geser jadinya!" sungutnya. Tanpa berucap apa-apa, ia menggeser kursinya kembali ke meja. Dari dalam laci ia mengeluarkan cermin berdiameter lima belas sentimeter. Dipastikannya riasan wajahnya tidak rusak sebelum kembali menjulurkan kepala ke arah Faine.

     "Kata orang, sebelum nikah itu emang banyak setan pengganggunya," ujar Diana.

     "Kayak lo udah pernah nikah aja," gerutu Faine, mengalihkan fokusnya pada layar komputer, menyudahi bisik-bisik tetangganya dengan Diana.

***

     Semenjak bisa dan legal untuk mengendarai kendaraan roda dua, Faine tidak pernah absen menggunakan kendaraan turunan dari Kafin. Meskipun sudah berusia nyaris sepuluh tahun, motor warna hitam yang dikendarai Faine belum pernah mogok. Setidaknya, tidak ketika Faine yang mengendarai.

     Sialnya, sore ini mesin roda dua itu menolak hidup. Alih-alih mengeluarkan suara khasnya, motor Faine hanya mengeluarkan bunyi cegukan tidak jelas, kemudian kembali hening. Berulang kali Faine berusaha menghidupkannya, sebanyak itu pula kendaraan tersebut menolak.

     Mau tidak mau akhirnya Faine menitipkan motor pada penjaga keamanan yang bertugas. Ia kemudian melangkah gontai menuju pintu keluar area kantor. Disusurinya jembatan penyeberangan untuk mencapai tempat pangkalan ojek. Untungnya, masih ada kendaraan yang kosong, sehingga ia bisa langsung pulang ke rumah.

     Faine tiba di tujuan tepat satu menit menjelang jam sembilan. Di depan rumah terparkir kendaraan roda empat milik Kafin. Hal tersebut membuat Faine mengernyitkan kening. Pasalnya kakaknya itu biasanya hanya pulang di akhir pekan.

It's Always Been You [Selesai] [Telah Terbit di Haebara Publisher/Haeba Group]Where stories live. Discover now