Bab 8 : How We Survive

87 58 27
                                    

[Edited]

NOTE:
3.000 words. Ngeslow aja muehehe~

BAB 8
[Jenna]
- How We Survive -

"Zar, Abidzar," ujarku sembari menepuk-nepuk kakinya yang kebetulan berada di dekatku.

Lenguhan terdengar dari Kak Juno, Kak Tata, Izdihar dan tentu saja orang yang kupanggil: Abidzar.

Kurasakan mereka semua bangun.

Aku pun berbalik ke arah cowok yang sedang mengucek matanya tersebut.

"Masih sepi masa," ujarku.

"Apanya?" tanya Izdihar dengan suara khas orang bangun tidur.

"Itu gerbangnya, Har!" tunjukku dengan kesal.

Okay, fine. Aku memang sudah terbangun lima belas menit lebih awal dari mereka semua.

Seraya memantau ke arah lapangan yang masih 'murni' kosong dari para monster sialan itu.

Tentu saja, keadaan masih sama seperti semalam. Lapangan yang kosong, gerbang yang tidak lagi dikerubungi oleh monster-monster itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

Yang artinya kami harus bergerak lebih cepat sebelum matahari kian meninggi.

"Iya, masih sepi." Itu ujaran pembenaran dari Kak Tata.

"Kalo kita gerak sekarang apa mungkin?" tanya Izdihar. "Lagian tim penyelamat nggak ada yang dateng," tambahnya, terdengar kesal.

"Mungkin aja," jawab Abidzar setelah sejak tadi tidak membuka suaranya. "Ayo."

Dan setelahnya, cowok itu pun berdiri.

"Kita butuh senjata dulu," ujar Kak Juno. "Ayo cari senjata."

Abidzar dan aku mengangguk.

"Let's go," ujarku melangkah duluan. Disusul oleh yang lainnya.

Selama beberapa saat kami berpencar di rooftop untuk mencari beberapa benda yang dapat dijadikan senjata.

Dan yeah, kami hanya dapatkan beberapa seperti patahan kursi dan meja.

Sisanya berkumpul dengan tangan kosong.

"Aku nggak dapet apa pun," lapor Kak Tata.

"Aku pake tenaga aja dulu. Nanti kalo udah di luar, aku bisa cari senjata," tambah Izdihar.

"Sama kayak dia, aku juga bakal gitu," ujarku.

"Jangan," ujar Abidzar. "Kamu cewek, seenggaknya kamu harus pegang sesuatu buat jaga-jaga."

"Tapi Kak Tata nggak bawa apa-apa," pungkasku setengah tidak menyetujui perkataan cowok itu.

Abidzar menggeleng. "Aku nggak setuju sama perkataanmu. Kak Tata kan karate."

Benar juga.

Usai itu, diam adalah jawabanku atas segalanya.

Abidzar pun menyerahkan patahan kursi kepadaku.

"Ayo."

Dan kami pun segera melangkah menuju sisi rooftop.

Kulihat Izdihar melongokkan kepalanya ke bawah, ia pun berkata.

"Gila, tangganya tinggi banget," ringisnya dengan nada tidak menyenangkan.

Kak Tata ikut melongok setelahnya, ia pun menambahkan, "Bakal capek banget nggak sih turunnya?"

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang