Bab 37 : The Dead-end

48 11 0
                                    

[Edited]

BAB 37
[Izdihar]
- The Dead-end -

Ekhem. Kupikir ini adalah dialog pertamaku? Betul, kan?

Baiklah, jika seperti itu, maka akan kudeskripsikan semuanya dengan baik melalui sudut pandangku. Okay?

Well, dimulai dari hari itu. Hari di mana tepat diadakannya seleksi tim olimpiade nasional untuk berbagai cabang olahraga pada tingkat SMA kabupaten, yang jika lolos maka akan maju ke provinsi, hingga begitu maju lagi ke seleksi nasional.

Salah satunya adalah cabang olahraga menembak, yeah, aku di sana.

Musim panas, April 2020.

“Muhammad Izdihar, perwakilan dari SMA Lentera!”

Begitulah caranya namaku disebut. Dengan penuh gaya, kulangkahkan kakiku menuju ke arena menembak, saat itulah teman-temanku berdiri di sana. Semuanya, bersorak ke arahku.

Ada Abidzar yang kutebak sebagai pemimpin pemandu sorak--dasar anak itu--mereka semua berteriak heboh di tribun, dan aku tahu, dalam kondisi ini, Abidzar akan keluar dari zona ramahnya.

Terlihat dari gelagatnya yang amat barbar. Juga ada Vanilla, Freya dan pentolan satu geng mereka, lalu banyak lagi.

Tak kutemui Arsya saat itu. Karena kalian tahu lah, cowok itu benar-benar antisosial.

Upss. Aku melupakan satu orang paling spesial ada di sana. Seorang cewek berikat kepala merah putih melambaikan tangan ke arahku.

Dia adalah my girlfriend, namanya Dinda. Oh wow, aku harus menang, bung!

“DIHAAAAR!” teriak cewek-cewek dari kelasku. OMG sekali, suara mereka benar-benar mendominasi. Juga paling berisik. Padahal tidak memakai toa.

Oke. Jika kalian mau aku menang. Maka akan kulakukan.

Kufokuskan mataku pada bidikan. Ada lingkaran target yang bernilai masing-masing dari 1-10, dan juga area kosong. 10?

Oke, 10.

Kutarik pelatuk, perlahan-lahan, mengatur tekanan di jemariku, lalu… DORR!

***

Mobil berhenti. Usai meloloskan diri dari kejaran para monster bajingan tadi--jelas saja, mereka kan kalah cepat dengan mobil hahaha--perhentian kami di sini bukan tanpa sebab.

Mobil kehabisan bensin usai berkemudi lama, mana tidak ada cadangan lagi. Belum lagi masalah internal seperti kerusakan pada bagian inti mobil.

Wushhh!

Bamper mobil dibuka. Seketika itu juga asap hitam mengepul keluar daalam sana bersama hawa panas yang sontak membuat kami berempat--aku, Vanilla, Abidzar dan Arsya--menjauhkan tubuh kami.

Pukul 12.23 PM. Tengah hari. Di mana matahari tampak bersembunyi di balik awan yang tampak mendung.

“Ugh!” ujarku sambil menepis-nepis udara panas yang menyebar di sekitarku.

“Mobil sialan,” umpat si congek, Vanilla.

“Kalo dia sialan, nggak akan sampe kita ke sini,” sahut Arsya dengan nada dingin. Betul juga.

Kulihat Vanilla melengos. Aelah, Vanilla. Kerjaannya nggak pernah bener.

“Terus gimana dong?” tanyaku.

“Ya nggak gimana-gimana lah, Izdihar!” kesal Vanilla.

“Aku nggak tanya ke kamu!”

“Tanya mereka juga nggak akan kasih kamu jawaban!”

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang