Bab 15 : Three Days Left

59 29 6
                                    

[Edited]

BAB 15
[Arsya]
- Three Days Left -

Tenaga saya kerahkan semuanya untuk menarik gerbang sebelah kanan, saking kuatnya mampu membuat kaki saya jatuh dan bokong saya menggilas jalanan jembatan penyeberangan ini.

Hasil yang saya dapatkan tidak sia-sia, gerbang saya dan cewek bernama Tata itu berhasil menyatu, menciptakan kelegaan luar biasa saat itu terjadi.

Freya menjerit haru, sementara tangis pecah dari Vanilla.

Saya terengah, tidak bisa berkata-kata apa lagi. Begitu pula dengan yang lainnya.

Sementara di depan saya, monster-monster itu meraung, suaranya menyatu bersama derasnya hujan yang turun siang itu.

Ini adalah hari ketiga kami.

Perjuangan selama tiga hari ini sangat berat, dan saya merasakan setiap detiknya yang berharga, bergulir mengikuti arah detik waktu jam yang berputar di seluruh dunia.

Siapa yang tidak lelah?

Kami, remaja enam belas tahun, dipaksa untuk menghadapi kerasnya wabah yang kini melanda kota kami.

Setiap detik yang dulu saya buang untuk tiduran dan bermain game, kini telah saya sadari bahwa di waktu sekarang, itu adalah sesuatu yang paling berharga selain sehat yang dulu sering disebutkan kepala sekolah kami.

Hujan yang turun menjadi saksi bisu bahwa kami telah bergerak sejauh ini. Menjadi saksi bisu bahwa kami masih ingin hidup dan berjuang.

Bahwa kami semua ingin memanfaatkan waktu yang ada. Yang dulu tidak kami sadari betapa berharganya itu.

Saya menarik tubuh saya untuk bersandar di pembatas flyover, merasakan setiap tetes air hujan yang menjatuhi wajah saya setiap sekonnya.

Saya bangga, bangga pada semua orang yang ada di sini.

***

Hujan reda setelah turun deras berjam-jam. Matahari belum menunjukkan cahayanya, ditutupi awan yang masih berwarna kegelapan.

Saya lirik ponsel saya yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Harusnya saat ini cerah.

Setelah itu, tidak ada lagi yang saya perlukan dari ponsel saya yang hanya tergeletak di saku kantong celana saya selama berhari-hari.

Saya beranjak untuk berdiri. Menatap pemandangan basah setelah hujan.

Saya letakkan tangan saya ke atas pembatas sembari mengembuskan napas relaks. Sejuk.

Sepersekon detik setelahnya, matahari mulai menunjukkan eksistensinya.

Bagi saya, pukul tiga itu adalah yang paling indah, di mana matahari mulai bergerak turun di ufuk langit.

Cahaya yang panas tidak terlalu mengganggu seperti matahari pada pukul satu. Saya mengakui itu.

"Huft!" ujar sebuah suara yang tiba-tiba berdiri di samping saya.

Tanpa saya menoleh pun saya tahu siapa pemilik suara itu. Siapa lagi jika bukan Vanilla.

"Indah, ya?" tanyanya.

Saya berdeham sebagai jawaban.

"Kamu..." Saya menoleh, ucapan itu seperti menggantung karena ragu. "Ngapain sama Freya di sini?" lanjutnya bertanya.

Saya tidak kunjung menjawab, mungkin takkan menjawabnya. Lagi pula, kenapa ia ingin mengetahui itu?

"Ya, maksud aku... nggak apa-apa sih kalo kamu nggak mau jawab."

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang