11. Menunggu

1.2K 294 38
                                    


Kara terlihat diam saja di sepanjang perjalanan dari Liverpool ke pusat kota London, menuju rumah Suho di kawasan Mayfair. Dia hanya menjawab kelelahan, waktu Jongin menanyakannya. Sesampainya di rumah, Kara yang biasanya antusias pada semua hal mewah tetap bisu, pucat pasi, Kara juga tidak menghabiskan makan malamnya. Suho menimang untuk bertanya, dia khawatir tapi setumpuk pekerjaan menghentikan niatnya itu. Suho memilih duduk di sofa cokelat depan ranjang tidur, sudah hampir satu jam, bersama leptop dan berkas perjanjian kerjasama dengan pengembang asal Irlandia. Dia menghentikan pekerjaannya, ketika Kara memasuki kamar tidur mereka.

"Apa malam ini aku harus tidur di sini?" suara Kara terdengar samar, Suho hanya mengangguk.

Sunyi menemani mereka setelah itu, Suho melirik Kara yang duduk gelisah di pinggiran ranjang. Dia menahan diri untuk bertanya pada Kara, Suho berpikir mungkin Kara punya urusan pribadi yang tidak perlu dibagi dengannya. Suho melanjutkan pekerjaannya, tapi ternyata lebih sulit dari yang dia perkirakan. Suho masih terlalu khawatir dengan apa yang terjadi pada Kara.

"Memangnya pekerjaanmu banyak sekali ya?"

Suho terkejut dan hampir terjungkal dari sofa, tiba-tiba dan tanpa pernah disadarinya, Kara sudah duduk di lantai, depan meja kaca yang menjadi tempat leptopnya bernaung. Gadis itu melipat kedua tangan di atas meja, menyandarkan dagunya di sana, seraya mengintip ke balik layar leptop. Kara tidak melihat Suho sama sekali, sementara Suho memandangi rambut panjang Kara yang tergerai, masih sedikit basah. Wangi segar bunga Freesia menguar, berpadu aroma tubuh Kara yang semanis vanilla, seketika memenuhi indra penciuman Suho. Tanpa sadar tangan Suho bergerak, nyaris menyentuh puncak kepala gadis itu, andai Kara tidak tiba-tiba kembali bersuara.

"Ternyata orang kaya pekerjaannya banyak sekali ya? Aku pikir selama ini kau hanya bersenang-senang." Kara mendongak, memandang Suho yang tersenyum samar, lalu kembali bersandar di atas kedua tangannya yang terlipat.

"Seharusnya kau membagi pekerjaanmu dengan yang lain," tukasnya.

"Semua orang sudah punya pekerjaannya sendiri-sendiri, dan semua ini memang sudah menjadi tugasku."

"Memangnya kau tidak lelah?" Kara kembali menengadah, melihat Suho yang menatapnya begitu lekat.

"Ada pekerjaan yang lebih melelahkan dari itu,"

Ada risalah hati yang berpendar ketika mata mereka bertemu, tapi sayangnya Kara tidak bisa mengartikan itu sama sekali. Suho benar-benar tidak terbaca, selama ini Kara tidak pernah bisa memahami arti tatapan Suho kepadanya. Sunyi kembali menyergap mereka. Untuk lima detik berikutnya mereka hanya saling pandang, sampai pada akhirnya Kara berpaling saat Suho mengusap puncak kepalanya.

"Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan padamu?"

"Katakan saja, bukankah selama ini kau selalu mengatakan, apa yang ingin kau ketahui?"

"Iya memang benar, tapi kali ini kedengarannya akan sedikit rumit." Kara menegakkan punggungnya, agak gugup. Suho mengabaikan pekerjaannya. Dia memusatkan seluruh perhatian pada Kara, menunggu dengan sabar kalimat yang ingin Kara utarakan kepadanya.

"Begini." Kara menarik napas panjang dan dalam, mencoba melegakan rongga dada yang tersendat namun gagal, sekarang dia merasa semakin sesak.

"Tadi, sebenarnya—aku, hemm...." Kara memberi jeda pada ucapannya, dia benar-benar gugup. "Begini, tadi—itu,"

"Kau melihatnya?"

"A-apa?"

"Kau melihatku dan Samantha, benar 'kan?"

"Eoh, namanya Samantha." Kara mengangguk berulang-ulang, dia mencoba menghindar dari manik coklat Suho yang semakin lekat memandanginya.

"Dia mantan pacarku dan dia selalu menciumku tiap kali kami bertemu, tapi tenanglah dia janji itu yang terakhir."

"A-apa?"

"Dia datang ke Anfield bersama kekasihnya dan beberapa teman."

"Ke-kekasih?"

"Yeah. Kau pikir gadis secantik Samantha tidak punya kekasih? Yang benar saja."

Kara mengerjab, merah padam, dia kehilangan seluruh kata-katanya. Kemudian Kara terkejut dan hampir tersedak. Suho tiba-tiba membungkukkan tubuhnya, memangkas jarak di antara mereka, sangat dekat, bahkan ujung hidung mereka nyaris bersentuhan.

"Ada lagi yang ingin kau ketahui, Ji Kara?"

"Ti-tidak ada." Kara menggeleng kaku.

"Berarti salah paham ini selesai, benar begitu?" Suho tersenyum, menyentuhkan ujung hidungnya di ujung hidung Kara, lalu kembali duduk tegap. Pipi Kara sekarang lebih merah dari buah tomat yang sudah masak.

"Salah paham? Aku tidak salah paham, aku hanya... hanya ingin tahu namanya saja." Kara tertawa, sumbang, mencoba meredam malu tapi gagal. Dia bersandar pada kaki sofa, membelakangi Suho.

"Aku ini bukan siapa-siapa, jadi kau tidak perlu menjelaskan sedetil itu, aku cuma penasaran namanya saja, tidak lebih."

"Tapi tadi, kau seperti minta penjelasan."

"A-apa? Aku—tidak, aku tidak seperti itu,"

"Terserah kau saja." Suho tertawa pelan, Kara masih mencoba menyangkal, pipi gadis itu semakin merah.

"Hey, kau jangan berpikir yang tidak-tidak."

"Misalnya?"

"Misalnya," Kara menggaruk kepala, bingung, otaknya buntu, Suho kembali memandanginya.

"Tidurlah ini sudah tengah malam?" Kara memaku, Suho kembali mengusap kepalanya. "Tidurlah, hemm?" Suho masih mengusap kepalanya Kara.

"Kau sendiri? kerjaannya belum selesai ya?"

"Kenapa? Kau mau tidur denganku?"

"Apa?! Cih! Bermimpi saja, Tuan Kim." Kara beranjak, bergumam tidak jelas. Kara merebahkan diri di ranjang, menarik selimut sampai sebatas dada.

"Selamat malam," kata Suho, Kara tidak menjawab, dia buru-buru memejamkan mata dan berharap bisa cepat tidur.

Suho melanjutkan pekerjaannya sampai dua jam setelahnya, lalu merenggangkan otot punggung dan beringsut ke pinggir ranjang tidur. Suho duduk di pinggirannya, memandangi Kara yang tidur pulas. Selimut yang menutupi Kara sudah turun hingga sebatas pinggang, cincin safir berada di depan wajahnya. Kara menggeliat ketika jemari Suho menyentuh pelipisnya. Suho meraih tangan Kara yang tersemat cincin, meletakkan telapak tangan gadis itu di pipinya, menggenggamnya erat di balik ruas jarinya yang besar. Suho mencium telapak tangan Kara berulang-ulang, mencoba menyampaikan semua sesal, tentang satu fakta yang selama ini Suho sembunyikan rapat-rapat.

"Kau tahu, apa pekerjaan yang membuatku lelah dan hampir menyerah?" Mata Suho berkabut, sakit itu selalu datang tiap kali dia memandangi Kara.

"Menunggu. Menunggu sampai kau bisa kembali mengingatku, Ji Kara."

Ya, Kara sudah melupakan dirinya, melupakan semua cerita tentang mereka.

-

-

TBC

11 Mei 2017

Bingung mau kasih note apa... hemm met baca ajalah ya hehehee

-

Salam KECE

Ririn Setyoٰ

Secret of The SwainWhere stories live. Discover now