7. Shopping

1.5K 271 19
                                    

"KAPAN kau menyiapkan semua ini?"

Kara masih memandangi cincin safir biru di jarinya, sesekali dia mengusap permukaannya yang mengkilap, meletakkannya di atas tangan kanan tepat di bawah dagu. Euforia lamaran tadi masih terasa sangat nyata, bahkan pipinya masih hangat.

"Kemarin kau masih di Inggris, tapi malam ini kau sudah membuat acara lamaran seromantis ini. Aku benar-benar terkesan."

Kini Kara mengangkat jarinya yang tersemat cincin setinggi wajahnya, senyum lebar penuh pendar kebahagian tak pernah surut menghiasi wajahnya. Kara memandang tanpa bosan cincin pertunangan paling indah yang pernah dilihatnya. Kara benar-benar tidak pernah membayangkan, bahkan di mimpi sekalipun, cincin seindah itu melingkari jari manisnya.

"Ah, cincin ini benar-benar cantik." Lagi-lagi Kara mengusap cincinnya, tubuhnya yang tadi berdiri tegap kini sudah setengah bersandar di dinding kaca kamar tidur Suho.

"Kau menyukainya?"

"Tentu saja. Aku pernah membayangkan dilamar kekasihku suatu hari nanti dengan cincin bagus, ya walaupun tidak secantik cincin ini juga sih, tapi aku pernah membayangkannya. Dilamar saat festival kembang api, maksudnya, aku tidak punya cukup uang untuk membuat kembang api di langit rumahku sendiri. Kekasihku nanti pastilah bukan pria sekaya dirimu."

Kara melirik Suho sesekali disela-sela dia curcol panjang lebar sambil memandangi cincinnya. Suho tidak melihatnya, tapi melemparkan pandangan ke langit malam yang menaungi mereka. Suho duduk di kursi rotan dicat oranye, depan beranda kamarnya, kakinya dia letakkan pada peyangga kaki yang menyerupai meja dari bahan yang sama dengan kursi.

"Aku sempat berpikir kau benar-benar melamarku tadi, kau tidak memberitahuku sebelumnya, jadi semuanya terlihat sangat nyata. Aku benar-benar gugup dan—" kalimat Kara terputus, Suho mengusap puncak kepalanya, Kara bahkan tidak sadar kapan Suho beranjak dari kursi santainya.

"Kau ini cerewet sekali ya, pantas saja Sehun tidak menyukaimu."

"A-apa?"

"Sehun tidak seperti Jongin dan Baekhyun yang banyak bicara. Dia suka ketenangan."

"Dia mengerikan, tidak seperti Jongin, pantas saja tidak ada gadis yang menyukainya."

"Itu karena kau belum mengenal Sehun lebih dekat." Suho mengusap pipi Kara yang dingin, sebelum dia masuk ke dalam kamarnya.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" kata Kara, masih berdiri di luar kamar Suho.

"Katakan saja?"

Suho mengeluarkan leptop dari tas kerjanya yang dia letakkan di sofa depan ranjang, berjalan menuju ruang kerja tepat di samping kamar tidur. Dia meletakkan leptop di meja, lalu kembali lagi ke kamar, mencopot jam tangan lalu meletakkannya di nakas. Suho juga mengutak atik sebentar ponselnya sebelum beralih pada Kara yang masih berdiri di beranda, menunggu pertanyaan yang tidak juga terlontar dari bibir gadis itu.

"Apa yang ingin kau ketahui?"

"Tidak terlalu penting, tapi aku penasaran," kata Kara cepat-cepat. "Tentang adik-adikmu. Apa benar kalian bukan saudara kandung, mereka semua hanya saudara angkat?"

"Ya itu benar, lantas?"

"Jadi semua adikmu tahu mereka anak angkat?"

"Sejak awal mereka sudah tahu, tapi kami tidak suka menyebutkan predikat itu. Mereka semua adikku, anak kedua orangtuaku, tidak peduli mereka lahir dari rahim siapa atau darah apa yang mengaliri nadi mereka. Aku harap kau tidak membahas masalah ini di depan orangtuaku, terlebih di depan ibuku."

"Ibumu?"

"Ya, ibuku."

"Ibu—tirimu?"

Secret of The SwainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang