13. Hidup Bahagia - (End)

24.6K 1.6K 74
                                    

Dani

Kegiatan pagi hari ku di desa ini diawali dengan sajian teh hangat dan singkong rebus diatas meja.

Hidangan pagi yang baru pertama kali aku menikmatinya. Jika biasanya aku selalu menikmati Nasi Goreng dan kopi di pagi hari, sekarang tentu berbeda sekali.

"Silahkan, maaf ya seadanya." sudah berulang kali Pakde Gus mengatakan demikian kepadaku.

Beliau sepertinya tidak enak hanya menghidangkan makanan dan minuman ini.

Pakde Gus orang yang sangat ramah, beliau selalu melempar senyum ke arahku tanpa henti.

Senyum damai ala penduduk desa yang selalu ku rindukan kala di kota.

Di kota mungkin hampir hilang senyuman yang ditampilkan oleh Pakde Gus di bibir setiap orang.

Jadi tidak heran aku begitu mengaguminya.

"Terima kasih Pakde. Singkong dan Teh ini rasanya mantap sekali. Mungkin karena dipetik langsung diolah ya?"

"Bener kamu Le. Pintar cara berpikir mu," Pakde Gus mengiyakan pendapatku, beliau menepuk-nepuk bahuku sambil tertawa dengan lebar, "Hm bahan makanan apapun kalau masih segar pasti rasanya akan enak." tambahnya yang ku jawab dnegan anggukkan kepala.

"Iya, ini enak sekali." lirih suaraku menyimpulkan pendapat sendiri.

"Kalau boleh saya tahu, hari ini apa kegiatan Pakde?"

"Oh itu, Pakde mau ke Sawah. Mau menanam padi le, kamu mau ikut?"

"Boleh Pakde, boleh..."

Entahlah mengapa hanya diajak ke sawah untuk menanam padi saja aku sudah kegirangan seperti ini.

Mungkin karena kegiatanku setiap hari hanya di lapangan, melihat mesin besar kemudian ke kantor untuk berhadapan di depan komputer saja. Aku bosan dan butuh refreshing.

"Ayo le, habiskan makananmu. Kita akan segera berangkat."

***

Jinga Pov

"Ibuuuu....Mentari mau bertemu Ayah, mau ketemu Ayah." jari-jari kecil nya sudah mencengkram ujung baju ku kuat-kuat sejak dua puluh menit yang lalu.

Jam masih menunjukkan pukul 05.30 pagi hari, aku sudah selesai melaksanakan subuh di musholla paling dekat dari rumah.

Dan sekarang aku sedang membantu Bibi Uni memasak adonan kue.

Di depan ku sekarang sudah ada wajan besar berisi santan kental yang jumlahnya berliter-liter dan harus terus diaduk sampai santan nya berubah menjadi adonan.

"Iya, nanti ya Mentari. Ibu masih bantu memasak Uti Uni ya?" aku mencoba memberi pengertian anakku, tapi entahlah kenapa dia terus merengek ingin bertemu Ayahnya.

"Gak mau, Ibuuu ayo ketemu Ayah. Mau Ayaaah Ibuuuu...." rasanya telinga ini gatal sekali, karena mendengar rengekan putri kecilku.

Kenapa sekarang Mentari jadi lebih menyukai kebersamaan nya bersama Mas Dani?

Inikah yang dinamakan ikatan anak dan Ayah hingga membuat keduanya selalu saling mencari.

Tidak beberapa lama, ku lepas penggorengan berbahan kayu tersebut lalu mengalihkan perhatianku kepada Mentari. Lalu beralih perhatian menggendong tubuh putri kecilku dengan hati-hati.

Jika diperhatikan, kelopak mata nya yang bawah sudah ada genangan air mata.

Sampai saking ingin bertemunya dengan Mas Dani, Mentari ku bisa menangis seperti sekarang ini.

Mentari Kecil ku (Complete)Where stories live. Discover now