"Almyra, itu hanya gosip. Pada faktanya semua itu tidak benar, bukan? Kamu dan Bunda ini tipikal wanita yang selalu menganggap gosip adalah suatu permasalahan ya."

"Hih, kamu dan Ayah juga sama saja. Tidak pernah mengerti perasaanku dan Bunda." Aku merajuk, membuat Ares menghentikan gelak tawanya. Tangannya terulur menyentuh pipiku, mengusapnya lembut hingga membuat darahku berdesir.

"Sebelum gosip ini menyebar dan menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Aku sudah lebih dulu memakan gosip sialan tidak berguna itu sedari kanak-kanak, Almyra. Saat identitasku terungkap jelas dalam keluarga Dr. Rendy Efraim dan istrinya cantiknya, Sania Efraim." Aku terhenyak, mengetahui fakta jikalau Ares lebih dulu menjadi bahan perbincangan menarik lantaran identitasnya.

"Kita hidup di zaman era modern. Gosip akan selalu ada dan sulit di tangkis karena itu memang kebiasaan masyarakat sekarang ini. Dalam hidup pun selalu ada pro dan kontra, tinggal bagaimana kedewasaanmu menyikapinya. Jadi, jika kamu selalu mendengarkan apa yang orang-orang katakan tentangmu, masa depan akan menjauhimu. Percayalah, nasibmu di tentukan dengan apa yang menjadi tekadmu." Seutas senyum diberikan Ares padaku, dia menyemangati tanpa tahu sudah berhasil menyurutkan niatku.

"Maafkan aku, kalau saja aku tidak mendengarkan gosip murahan itu aku tidak mungkin membuatmu mengingat apa yang sudah berlalu." Kepalaku tertunduk lesu, seharusnya aku lebih dahulu berpikir bahwa mungkin saja Ares pernah mengalami hal serupa.

"Tidak apa. Aku dengan senang hati berbagi masa laluku bersamamu." Ares menggenggam telapak tanganku membuatku mendongak menatap cahaya matanya yang menggetarkan hati.

"Almyra, kau harus tahu bahwa aku ingin menikah denganmu bukan karena apa pemikiran orang-orang di luar sana." Bagai tersihir, aku hanya mampu menganggukkan kepala tanpa niat membantah.

"Dan Ares, aku berpikir bahwa sudah seharusnya kau berdamai dengan masa lalumu itu." Dahi Ares berkerut tak suka. Aku sudah menduga dia akan memberi respon seperti ini.

"Kau tahu, aku tidak akan pernah bisa berdamai dengan lelaki tua bajingan itu." Lelaki di hadapanku menggeram. Mau tak mau, yang ku lakukan untuk menenangkan hanyalah mengusap lembut permukaan jemarinya.

"Ares, aku mau menikah denganmu bukan hanya karena dirimu dan juga dengan apa yang kau miliki. Tapi aku mau menikah denganmu juga karena masa lalumu. Ares, kita tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu. Tidak juga bisa semudah itu memaafkannya. Tapi waktu sudah lama merenggut kenangan pahit itu, apakah kau tidak ingin membuat satu kenangan manis bersama orang tua kandungmu walau itu hanya dengan melupakan apa yang telah terjadi?"

"Almyra, aku tidak akan pernah lupa bagaimana lelaki tua bajingan itu menelantarkan Ibuku. Tidak mau mengakuiku dan selalu menyebut Ibuku sebagai wanita jalang." Mata hazel Ares berkobar penuh amarah. Ku hela nafas lelah, nampaknya kali ini usahaku belum berhasil untuk membuat Ares memaafkan Ayah kandungnya. Terlebih luka yang di torehkan sangat jauh melekat dalam ingatan.

***

Tiga bulan telah berlalu semenjak peristiwa itu. Selama hari berlangsung, baik aku dan Ares juga keluarga besar kami mulai fokus mengurusi pernikahan. Aku bahkan sampai harus bolak-balik Jakarta-Jerman karena Oma Tiara—ibu kandung Bunda sempat tak percaya bahwa aku akan menikah dengan Ares. Pria itu juga mulai mengurangi pekerjaannya lantaran Ayah menegur Ares terlalu bekerja dengan keras hingga melupakan fakta bahwa sebentar lagi dirinya akan menikah. Segala persiapan menuju pernikahan pun sudah tidak perlu diragukan lagi kesiapannya. Bunda dan Tante Sania berada dibalik itu semua hingga terkadang membuatku berdecak kagum tatkala konsep yang diajukan sangat sesuai dengan keinginan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 05, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Simplicity of LoveWhere stories live. Discover now