3. Ciuman Termanis

1.1K 96 19
                                    

Sejak berada dalam kedai kopi ini, aku dan Alfa selalu menciptakan lelucon yang selalu membangkitkan gelak tawa kami. Mengungkit moment saat kami kecil, saat dimana Alfa dahulu selalu menangis ketika di tinggal Tante Annisa dan Om Stevent untuk belajar di taman kanak-kanak atau aku yang kemana-mana dahulu selalu membawa bantal kesayanganku yang sudah lama menemani tidur dan Alfa selalu saja mengatakan bantalku penuh dengan iler atau bau ompol.

"Apa sekarang kamu masih begitu?" Dia masih tertawa, aku merengut sebal.

"Tidak! Aku pasti akan malu, Alfa, jika masih melakukan hal itu." Alfa semakin tertawa, membuatku jengkel, segera saja ku bekap mulutnya dan dia malah menggigit salah satu jari tanganku. Adik menyebalkan!

"Sakit." Keluhku dengan nada ingin menangis yang di buat-buat. Wajah Alfa mendadak panik, mengambil tanganku dan mengusapnya pelan.

"Ketipu!" Teriakku penuh tawa sehingga berhasil membuatnya tersenyum masam. Rasakan!

"Kamu menipuku? Oke, kita musuhan."

"Yakin? Kalau begitu kembalikan kaus kakiku." Ancamanku membuat Alfa merengut sebal. Itu kelemahannya, dia selalu tidur mengenakan kaus kaki dan sialnya itu milikku. Kaus kaki limited edition bergambar thomas and friend's, saat itu Alfa melihatnya dan merengek berharap aku memberikan sepasang kaus kakiku kepadanya.

"Oke, aku kalah. Puas?!" Aku tertawa lebih keras. Puas? Tentu saja. Akan aku beritahu semua aib Alfa pada seorang gadis yang nanti akan menjadi Istrinya, dia pasti juga akan mentertawakan Alfa sama sepertiku.

"Sudah cukup tertawanya." Alfa berganti membekap mulutku, aku memukul-mukul tangannya berharap ia melepaskan sampai mataku membulat sempurna saat tahu siapa orang yang berdiri di hadapan kami.

"Almyra." Tegurannya dengan suara bass itu membuat kami menjaga sikap. Tubuhku menegang di tempat, untuk apa dia kemari? Dan mana calon Istrinya itu?

"Hai, Mas Ares." Alfa bersalaman dengan laki-laki itu, mereka sama-sama menebar senyuman. Aku merutuki diri sendiri, mengapa laki-laki pandai menahan emosinya sedangkan seorang perempuan malah tidak bisa? Itu menyulitkan.

"Ada apa kamu kemari?" Ketusku kemudian beralih menatap cangkir yang berisikan cappucino panas yang belum tersentuh.

"Ayah menyuruh aku menjemputmu. Ayo pulang." Cih, dia repot-repot kemari hanya untuk menuruti perintah Ayah saja begitu? Apa dia tidak melihat wajahku yang memerah berusaha mengendalikan amarah ini?

Aku memalingkan wajah menatap Alfa, meminta pendapatnya apakah aku harus menuruti kemauan Ares atau tidak dan sialnya kepala Alfa mengangguk.

"Aku juga harus kembali ke kampus. Terima kasih, Mas, sudah menggantikan tugasku untuk mengantar si cengeng ini pulang." Alfa bangkit dari sofa panjang yang kami duduki bersama. Kembali menjabat tangan Ares dan kemudian mencium puncak kepalaku seraya berpamitan. Aku mengeram kesal saat dia tersenyum meledek penuh arti. Dia pikir ini akan berjalan romantis begitu? Tidak akan.

"Ayo." Ares kembali bersuara, aku memanyunkan bibir ketika dia berjalan mendahului untuk keluar dari kedai kopi ini tanpa menungguiku. Sialan, selalu begitu.

***

Selama perjalanan menuju rumah, aku dan Ares sama sekali tidak mengeluarkan suara. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing, kedua mataku pun sedari tadi sibuk memperhatikan jalanan lewat kaca mobil sport merah miliknya.

Suasana dingin di dalam mobil membuat tanganku berkeringat, gugup tentu saja. Ares sama sekali bungkam, radio type dalam mobil ini juga tidak dia nyalakan. Aku benci situasi seperti ini, keadaannya mengingatkanku saat Ayah dan Bunda sedang bertengkar.

Simplicity of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang