5. Teka-Teki Ares

818 63 5
                                    

Tepukan tangan yang meriah serta sorak gembira dari para tamu yang datang mengiringi kelima laki-laki itu menuruni panggung.

Aku menghela nafas gusar ketika Ares berjalan ke arahku dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya dan tatapannya masih sama, menatapku tajam sampai aku berusaha mati-matian menahan jantungku yang meloncat-loncat ingin keluar.

Nafasku semakin tercekat ketika laki-laki itu memilih duduk di sampingku, tangannya terulur merangkul pinggangku. Tubuhku membeku, aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, setidaknya aku berusaha agar tidak terlarut pada kelakuan jahil yang dilakukannya.

"Almyra." Seseorang memekik ke arahku, astaga itu Ayah dan Bunda. Aku menoleh ke arah mereka, sialnya Ares tidak bergeming sama sekali.

"Aku pikir Ayah dan Bunda tidak di undang Mas Nio." Aku bersuara, meredakan perasaan aneh yang menjalar di seluruh tubuhku.

"Tentu kami di undang. Hai, Ares, rupanya kamu di sini juga."

Ares berdeham. "Ya, Bun, Nio mengundangku juga."

"Tanganmu.." Aku berbisik di telinga Ares. Dia terlihat tenang dan tidak menghiraukan ucapanku, Ares malah semakin mengeratkan rangkulannya di pinggangku. Damn!

Aku menghela nafas kasar, menyandarkan tubuh ke punggung sofa kemudian menekan tangan besarnya. Berharap dia kesakitan dan langsung melepaskan tangannya, tetapi nihil, dia malah menikmatinya dan asyik berbincang dengan Alfa.

"Ares.. Ta-ngan-mu.." Aku berbisik sekali lagi dengan mengeja apa yang membuatku risih diperlakukan seperti ini.

"Aku tahu kamu menyukainya." Akhirnya dia mulai bicara meski pandangannya diedarkan ke segala arah demi menghindar dari tatapan tajamku.

"Lepas." Aku memekik pelan, jika mereka semua tahu aku dan Ares melakukan hal ini sudah pasti menjadi sebuah pertanyaan besar.

"Diam saja." Dia memerintahku, terlalu bossy sekali sifatnya. Oh, baiklah, aku menyerah. Tidak ingin membuat keributan sama sekali, aku malas jika harus mendapat introgasi dari mereka semua.

"Sepertinya Putra bungsuku benar-benar serius pada Putrimu, Mal." Om Rendy bersuara, membuat kami semua menoleh ke arahnya.

Gelak tawa Om Maliq terdengar dan samar-samar ku lihat Renata tersipu malu.

"Dia masih 20 tahun. Rai, aku ingin selesaikan dulu kuliahmu baru datang menemuiku setelahnya." Orang yang di maksud tersenyum malu-malu.

"Aku tidak ingin di langkahi, Papa." Ares menyela, membuatku mendelik sebal ke arahnya. Aku benci pada saat seperti ini kenapa dia malah membahas rencana pernikahannya dengan si wanita berambut pirang itu.

"Oh, aku sampai lupa, jagoanku yang satu itu pencemburu." Tante Sania mengulum senyum, aura kebahagiaan terpancar di wajahnya. Jelas saja, siapa yang tidak bahagia memiliki Suami sehebat Om Rendy dan dua Putra yang tampan-tampan.

"Lagipula jangan lupakan Fania, dia yang harus segera menikah. Nah Calvin, aku tunggu orang tuamu untuk datang melamar kalau kamu serius pada Putriku."

"Ayah, jangan bicara begitu. Aku malu." Semburat merah menyerang kedua pipi Kak Fania. Om Mario tampaknya sudah tidak sabar ingin segera mengantarkan Putrinya ke jenjang pernikahan.

"Secepat mungkin, Om. Aku sudah janji akan menikahi Fania, karna aku mencintainya." Tatapan cinta terpampang jelas ketika Calvin menatap kedua mata Kak Fania yang tengah berbinar-binar.

"Benarkah? Kamu mencintai Putriku yang manja ini?" Suara Tante Venna membuat kami tergelak.

"Bunda, sekali saja tidak membuatku malu." Pinta Kak Fania memelas, aku rasa dia lelah dijadikan bahan olok-olok kami semua.

Simplicity of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang