8. Opened

834 58 6
                                    

Hentakan heels yang ku pakai membawaku memasuki kedai kopi di seberang jalan apartement Ares. Kedai kopi yang di dominasi oleh interior yang berasal dari kayu berwarna coklat ini terasa begitu damai, terpaan angin malam sisa-sisa hujan yang dingin pun terasa menusuk kulit.

Ku pilih meja di barisan tengah dekat jendela, posisinya cukup nyaman terlebih tidak terlalu terlihat dari arah pintu masuk.

"Mau pesan apa, Mbak?" Aku terperangah, menoleh ke arah sumber suara.

"Aku ingin hot chocolate saja." Jauh-jauh kesini hanya untuk memesan hot chocolate, aku merutuk dalam hati.

Pelayan wanita muda itu kemudian pamit, membuatkan pesananku. Aku mengusap wajahku, mataku sakit terlalu banyak menahan air mata. Ku tarik nafas dalam-dalam, menghempaskan sesak yang sedari tadi menggelayuti. Pulang ke rumah bukan ide yang baik mengingat Bunda dan Ayah pasti akan bertanya jika melihat kondisiku, maka ku putuskan singgah sebentar sambil menenangkan perasaan.

Rintik hujan kembali turun ketika mataku tak sengaja memandang ke arah jendela, siluet pertengkaran kami tadi tiba-tiba terputar begitu saja dalam pikiranku. Ku gigit bibir bawahku begitu keras, memikirkan bagaimana kacaunya Ares sekarang.

"Permisi, Mbak." Pelayan wanita muda itu kembali, meletakkan pesananku ke atas meja.

"Terima kasih." Jawabku dengan suara lemah yang kemudian di balas dengan sebuah senyuman singkat sampai sosok pelayan itu kembali pamit.

Ku pandang nanar cangkir berisikan hot chocolate di atas meja, mataku mengerjap saat tiba-tiba sadar bahwa terselip sebuah kertas kecil berwarna pink di sampingnya. Ku raih kertas yang terlipat menjadi dua itu, membaca sederetan kata-kata yang membuatku merona.

Menangis saja bahkan tak ada cela, kamu tetap cantik.

Mataku menyapu ke semua sudut kedai kopi, siapa yang mengiriminya? Rasa sesak itu tiba-tiba saja hilang berganti harapan. Ku simpan kertas bertuliskan kata-kata indah itu ke dalam tas sampai kursi di depan mejaku tiba-tiba tertarik kebelakang, menimbulkan dencitan hingga membuatku mengangkat kepala dan menatap orang tersebut.

Pria paruh baya misterius di pemakaman waktu itu.

"Apa aku mengganggumu?" Aku memberikan senyumku sekilas, mengatakan lewat ekspresi bahwa kedatangannya justru bukan ide yang buruk.

"Mau pesan apa?" Kepala pria paruh baya di hadapanku itu menggeleng.

"Kita belum berkenalan." Ujarnya gamang, aku ragu bahwa apa mungkin dia tidak mengenaliku? Penampilannya sekarang bahkan lebih baik ketimbang waktu terakhir ku lihat di pemakaman, tubuh ringkihnya sudah terlihat agak gemuk.

"Apa Bapak yang bernama Alan Johansson?" Tanyaku to the point. Wajahnya sedikit terkejut, mungkin bertanya-tanya darimana aku bisa tahu identitasnya.

"Ya." Akhirnya dia menjawab dengan sorot mata yang sedikit teduh.

"Bagaimana bisa Bapak menemukanku disini?" Pertanyaan itu menggelitik benakku untuk di lontarkan, berharap ia akan menjawabnya.

"Aku mengikutimu, aku selalu mengikuti kegiatan anakku." Mataku membulat, terkejut dengan perkataannya. Apa beliau juga tahu bahwa aku dan anaknya tadi bertengkar?

"Aku tidak percaya, Bapak melakukan penguntitan dengan begitu sempurna."

"Jadi bagaimana keadaan anakku?" Sorot mata laki-laki yang ku tafsir seusia dengan Ayahku kembali meredup, bahkan terlihat begitu merindu.

"Ares? Um, dia baik." Kepalanya mengangguk pelan.

"Namamu Almyra, 'kan?" Kali ini giliran kepalaku yang mengangguk, membenarkan ucapannya.

Simplicity of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang