4. Locked Away

953 57 4
                                    

"Almyra, kenapa makanannya hanya kamu aduk-aduk saja?" Aku tersentak dari lamunan ketika suara Bunda yang menegur kembali membawaku ke alam bawah sadar.

"Y-ya? Kenapa?" Jawabku tergagap. Sejak insiden semalam, aku masih tidak bisa mengontrol perasaanku sendiri yang terus saja tak karuan. Tidur malam ku pun rasanya tak nyenyak, gelisah. Aku terus saja memikirkan laki-laki itu yang mengakhiri ciuman kami ketika aku menginginkannya.

"Kamu sedang memikirkan apa, Sayang?" Ayah menegur, membuatku terkesiap sekaligus malu. Dua kali aku kepergok sedang melamun oleh kedua orang tuaku.

"Bukan apa-apa." Balasku sambil memberikan seutas senyuman, berharap mereka percaya.

"Pagi." Shit! Suara itu. Aku mendongakkan kepala untuk menatapnya bersamaan ketika dia juga menatapku sambil menarik kursi makan yang akan di tempatinya kebelakang.

Lagi-lagi aku harus memuji bahwa dirinya sangat tampan hari ini. Mengenakan kemeja hitam pas badan dengan jeans hitam menggantung di pinggangnya. Rambut hitamnya di pomade kebelakang, dia bahkan sedikit merapihkan bulu-bulu halus di sekitar permukaan wajahnya yang kini terlihat lebih rapih. Bolehkah aku bilang saat ini dirinya setampan Adam Levine?

Ares memberikan senyumannya di Minggu pagi ini padaku, kemudian dia menempati kursinya. Aku serasa lupa cara bernafas saat dia datang di meja makan ini sejak awal, memberikan senyum dan kini memandangiku sambil mengoleskan selai coklat pada roti tawar yang ia pegang. Mendapat perlakuan seperti itu darinya membuat kepalaku tertunduk, aku malu, apalagi ketika mengingat moment tadi malam. Dia menjengkelkan.

"Ugh!" Aku menendang kaki siapa saja di bawah meja makan ini. Aku kesal, rasakan saja sakitnya.

"Almyra." Ayah mengeram, wajahnya sedikit meringis. Ku rasa aku salah sasaran. Bunda terkikik dan Ares malah tersenyum akan kebodohanku ini.

"Maaf, Ayah." Ujarku masih dengan kepala tertunduk, aku yakin pipiku pasti semerah tomat saat ini.

Suasana sarapan pagi ini terasa begitu lambat, aku benci kenapa rasanya roti dalam kunyahanku ini susah di telan. Ayah dan Bunda masih menikmati sarapan mereka dengan obrolan dan sedikit lelucon yang membuat keduanya sama-sama tertawa. Di depanku, laki-laki itu diam saja meski mulutnya masih mengunyah dan tatapan itu, Oh sialan, dia masih menatapku dengan tajam seperti ada yang ia baca dari raut wajahku.

Dengan tangan gemetar aku mengambil segelas susu full cream yang Bunda buatkan untukku, meneguknya mungkin bisa mengembalikan kepercayaan diriku.

"Bagaimana tidurmu semalam, Ares?"

"Sangat nyenyak, Bunda. Aku bahkan bermimpi di cium oleh seorang bidadari."

"Uhuk." Aku terbatuk begitu mendengar ucapannya. Bunda terkesiap dengan menepuk pelan punggungku berusaha meredakan rasa tersedak akibat susu yang baru saja ku minum.

"Hati-hati, Sayang." Bunda memberikan selembar tissue padaku. Aku mengambilnya sambil mendelik tajam ke arah Ares. Dia tertawa, menurutnya ini lucu begitu? Segera saja ku hapus sisa-sisa lemak susu yang berantakan di mulutku dengan kasarnya. Apalagi selain kata menyebalkan yang pantas ku sematkan untuknya?

"Aku harus pergi ke kantor, Ayah, Bunda." Ares menyudahi acara sarapannya di akhiri dengan menyeruput kopi hitam yang di buat Bunda. Aku menghela nafas lega, akhirnya dia pergi juga.

Ares segera berpamitan pada Bunda dan Ayah. Sebelum benar-benar pergi, dia mengerlingkan matanya ke arahku dengan menebar senyum tipis dari bibir sexynya. Aku terperangah, segera saja ku tutupi rasa malu sekaligus senangku ini dengan memutar kedua bola mata jengah.

***

Kak Fania:
Mau menghabiskan hari minggu ini denganku, Ra?

Simplicity of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang